"Kenapa lihatinnya begitu?"
"Kamu enggak takut?"
"Hijau-hijau?"
"Iya."
"Enggak."
"Nanti kalau kamu diambil gimana?"
"Kamu musyrik?"
"Ya enggak, lah!"
"Nah, jangan percaya sama gitu-gituan. Baju hijau baju polkadot, kalau ditulisnya pergi hari itu, ya hari itu juga perginya."
"Ya, kan, jaga-jaga."
"Kamu doain aku mati?"
"Enggak, lah."
"Siapa tahu."
"Enggak. Tapi manusia suka lucu. Bulan lalu ada yang terseret ombak. Dia pakai baju hijau. Dibilangnya seserahan untuk si Nyi Agung, karena sudah melanggar pantangan."
"Lalu?"
"Kemarin ada yang terseret ombak juga. Dia pakai baju hitam. Dibilangnya mati karena keram kaki."
"Berarti benar ya, yang pakai baju hijau itu dijadikan tumbal."
"Lah, katanya tadi enggak percaya?"
"Iya, tumbal pembenaran logika manusia. Kalau yang hilang banyak dan bajunya warna-warni, kira-kira dibilang apa, ya?"
"Nyi Agung sedang bahagia, mungkin. Jadi mau prasmanan. Hahaha."
"Hahaha."
-+-+-+-+-
Itu hari terakhir kami bercakap. Di atas pasir hitam, di bawah matahari terbenam, di antara deburan gelombang Pantai Selatan. Karena esok dan seterusnya kami saling tidak tahu satu sama lain ada di mana.
*****
Purworejo, 5/1/2020
20.05
Komentar
Posting Komentar