Langsung ke konten utama

#14 di 2020: Main ke UI

Jakarta macet. Gerimis yang turun tadi malam tidak membuat hawa panas ibukota menguap. Debu juga masih beterbangan, macam musim panas saja.

Di sisi lain, Kiara masih terlihat jelita. Seakan debu Jakarta terbang melewatinya. Wajahnya masih berseri, membuat kepala orang-orang di trotoar mengikuti gerak Kiara sambil bergumam kagum.

Entah sudah berapa lama mereka berjalan. Mereka berjalan dengan diam. Belum ada satu yang mengangakat tangan untuk melihat jam di pergelangan tangan. Mereka berdua sama-sama menikmati angin sepoi yang mulai datang saat kaki diinjakkan di gerbang utama UI.

Kiara banyak menunjuk bangunan dan landmark, mulai dari Keperawatan, Ilmu Komunikasi, Farmasi, stadium, juga danau.

"FH jauh di ujung sana," kata Kiara sambil menunjuk ke arah danau.

"Ini, fakultas gue."

Kiara membentangkan tangannya dan tersenyum senang, menghirup udara seakan-akan baru keluar dari ruang ujian.

Yudha tersenyum, melihat plang bertuliskan FTUI yang kelihatannya baru diganti.

"Fakultas teknik pasti banyak laki-lakinya, ya?"

Kiara mengangguk dan duduk di pembatas jalan depan plang. "Tapi arsitektur banyak juga yang perempuan."

Yudha ikut duduk di samping Kiara dan menyelonjorkan kakinya. Sekarang langit mendung dan angin berhembus pelan.

"Kamu sudah KKN?"

Kiara mengangguk, "Ke Banten. Kalau UT ada KKN?"

Yudha menggeleng, "Skripsi juga tidak ada."

Rahang Kiara terjatuh, menatap Yudha tidak percaya. Yudha terkekeh, "Serius. Diganti jadi ujian komprehensif tertulis namanya."

"Enak banget, gue skripsi bakal disuruh bikin desain bangunan."

Yudha mengangguk. "Kadang saya juga ingin merasakan naik turunnya mengerjakan skripsi. Kamu beruntung, Kiara. Pemikiran kamu akan jadi lebih kompleks. Seperti menabung buat beli tiket masuk world expo, kalau sudah bisa masuk, satu langkah untuk menggenggam dunia."

Kiara merenungkan kalimat Yudha. Ia rasa manusia di hadapannya memang sakti. Kalimatnya selalu membuat Kiara berpikir jauh.

Kiara akhirnya mengangguk, "Tapi gak semua kesuksesan awalnya dari skripsi. Opa gak pernah ngerasain bangku kuliah, lulus SMP aja enggak, tapi bisa warisin toko emas buat Papa. Bisa buat sekolahin gue sampai sekarang."

Yudha mengangguk, "Tiap orang memang punya cara yang berbeda, Kiara. Kita tidak perlu membandingkan diri kita dengan siapa-siapa. Kita cukup memanfaatkan yang kita punya untuk dapat tiket itu.

"Kamu punya tangan yang indah untuk menggambar bangunan indah, kamu juga punya kampus untuk dikunjungi dan skripsi untuk diselsaikan. Mungkin itu jalan yang terbuka untuk kamu."

Kiara tersenyum. Yudha benar. Lagi-lagi, Kiara tidak perlu mengeluh. Dia punya jalan sendiri, seperti papanya, seperti opanya, seperti Yudha.

*****


Jtn, 14/1/2020

22.30

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dan Beriman: Refleksi dari Sebuah Pilihan

"Kalau tentang pemikiran-pemikiran bunuh diri dan destruktif bagaimana?" "Hmm... Kalau itu sebenernya saya bisa mengendalikan sendiri. Pikiran-pikiran bunuh diri itu memang selau terlintas setiap hari, tapi saya tahu saya gak akan melakukannya karena memang saya tidak berniat untuk itu, hanya sekadar pemikiran yang biasa lewat." Lalu pembahasan kami beralih ke pikiran negatifku yang lain. Yang sangat banyak. Tapi saat itu aku sadar, kalau sebenarnya aku capable untuk memilih . Ternyata aku bisa dengan sadar memilah hal-hal yang menjagaku tetap dalam koridor yang tepat, dalam kasusku, menahan diri untuk tidak mati. Jumat lalu kebetulan baca arti Al-Kahfi, di ayat 29 ada potongan, "...Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir. Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta...

Pengalaman Seleksi CPNS 2021 – SKD Part 2: Hari-H

Sebelumnya: SKD Part 1 👈 Akhirnya lanjut lagi setelah setahun 😂🙏🏻 8 Oktober 2021. Dresscode peserta ujian adalah kemeja putih dan rok/celana hitam dengan kerudung hitam untuk yang memakai kerudung, sepatu pantofel tertutup berwarna gelap. Saya cuma punya rok dan kerudung saja. Sepatu pantofel dipinjamkan oleh sepupu yang anak Paskibra, kemeja baju putih dipinjamkan sepupu laki-laki. Karena Covid-19, persyaratan jadi lumayan ribet. Peserta diharuskan memakai masker 3 ply + masker kain yang waktu saya coba ya Allah gak bisa bernapas rasanya. Lalu harus juga membawa tes PCR atau Antigen. Saya tentunya memilih opsi paling murah. Karena saya dapat sesi jam 3 sore, paginya saya bisa tes Antigen dengan tenang. Saya berangkat bersama ibu saya jam 7 pagi, tes Antigen, lalu naik kereta turun di Stasiun Duren Kalibata (sekarang udah tahu stasiun kereta yang lebih dekat 🥲), naik angkot, lalu jalan santai ke gedung tempat pelaksanaan tes. Waktu kami tiba, baru jam 11an. Sepanjang jalan...

Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman

Membaca buku Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman , seperti membaca catatan perjalanan yang diabadikan karena tahu dua puluh tahun ke depan, pembaca mungkin tidak akan ingat siapa yang melakukan perjalanan. Bersama dengan empat bapak bangsa Republik Indonesia lainnya, Sukarno, Tan Malaka, dan Sutan Sjahrir; Tempo menerbitkan serial monograf Bapak Bangsa: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman. Kalau biografi biasanya dirunutkan dari hari kelahiran hingga kematian, buku ini lebih berfokus pada tempat-tempat berkesan bagi Hatta dan teman-teman seperbuangan nya. Lain waktu menghasilkan cerita, tapi tempat menghasilkan cerita. Seperti prolognya, kita akan bertamasya sejarah bersama Bung Hatta. Saat membaca buku ini, kita akan dibawa ke tempat-tempat Hatta menghabiskan waktu dengan buku-bukunya. Dari Bukit Tinggi sampai ke Rotterdam, hingga ke pengasingan di Banda Neira. Dari menguatkan pondasinya sebagai seorang Muslim dan berkenalan dengan buku, hingga mempertahankan prinsip sebagai akademisi di...