Jakarta macet. Gerimis yang turun tadi malam tidak membuat hawa panas ibukota menguap. Debu juga masih beterbangan, macam musim panas saja.
Di sisi lain, Kiara masih terlihat jelita. Seakan debu Jakarta terbang melewatinya. Wajahnya masih berseri, membuat kepala orang-orang di trotoar mengikuti gerak Kiara sambil bergumam kagum.
Entah sudah berapa lama mereka berjalan. Mereka berjalan dengan diam. Belum ada satu yang mengangakat tangan untuk melihat jam di pergelangan tangan. Mereka berdua sama-sama menikmati angin sepoi yang mulai datang saat kaki diinjakkan di gerbang utama UI.
Kiara banyak menunjuk bangunan dan landmark, mulai dari Keperawatan, Ilmu Komunikasi, Farmasi, stadium, juga danau.
"FH jauh di ujung sana," kata Kiara sambil menunjuk ke arah danau.
"Ini, fakultas gue."
Kiara membentangkan tangannya dan tersenyum senang, menghirup udara seakan-akan baru keluar dari ruang ujian.
Yudha tersenyum, melihat plang bertuliskan FTUI yang kelihatannya baru diganti.
"Fakultas teknik pasti banyak laki-lakinya, ya?"
Kiara mengangguk dan duduk di pembatas jalan depan plang. "Tapi arsitektur banyak juga yang perempuan."
Yudha ikut duduk di samping Kiara dan menyelonjorkan kakinya. Sekarang langit mendung dan angin berhembus pelan.
"Kamu sudah KKN?"
Kiara mengangguk, "Ke Banten. Kalau UT ada KKN?"
Yudha menggeleng, "Skripsi juga tidak ada."
Rahang Kiara terjatuh, menatap Yudha tidak percaya. Yudha terkekeh, "Serius. Diganti jadi ujian komprehensif tertulis namanya."
"Enak banget, gue skripsi bakal disuruh bikin desain bangunan."
Yudha mengangguk. "Kadang saya juga ingin merasakan naik turunnya mengerjakan skripsi. Kamu beruntung, Kiara. Pemikiran kamu akan jadi lebih kompleks. Seperti menabung buat beli tiket masuk world expo, kalau sudah bisa masuk, satu langkah untuk menggenggam dunia."
Kiara merenungkan kalimat Yudha. Ia rasa manusia di hadapannya memang sakti. Kalimatnya selalu membuat Kiara berpikir jauh.
Kiara akhirnya mengangguk, "Tapi gak semua kesuksesan awalnya dari skripsi. Opa gak pernah ngerasain bangku kuliah, lulus SMP aja enggak, tapi bisa warisin toko emas buat Papa. Bisa buat sekolahin gue sampai sekarang."
Yudha mengangguk, "Tiap orang memang punya cara yang berbeda, Kiara. Kita tidak perlu membandingkan diri kita dengan siapa-siapa. Kita cukup memanfaatkan yang kita punya untuk dapat tiket itu.
"Kamu punya tangan yang indah untuk menggambar bangunan indah, kamu juga punya kampus untuk dikunjungi dan skripsi untuk diselsaikan. Mungkin itu jalan yang terbuka untuk kamu."
Kiara tersenyum. Yudha benar. Lagi-lagi, Kiara tidak perlu mengeluh. Dia punya jalan sendiri, seperti papanya, seperti opanya, seperti Yudha.
*****
Jtn, 14/1/2020
22.30
Komentar
Posting Komentar