Langsung ke konten utama

#22 di 2020: Happiness

Happiness

oleh Keana Lingga


“Chan, laporannya mau diletakkan di mana?”

Chan punya banyak hal yang ia syukuri dalam hidupnya. Salah satunya bekerja dengan teman-teman yang pengertian dan tetap menghargai dirinya di samping kekurangan yang dimilikinya. Kadang ia berpikir bagaimana teman-temannya bisa tahan berada di lini yang sama dengan dirinya.

“Letakkan di meja kak Sean saja, Nana.”

Chan bisa melihat mulut Nana terbuka lebar. Kalau tebakannya benar, Nana pasti sedang terkejut dengan jawabannya.

“Ih! Mantap, Chan! Kok, kamu tahu ini aku?”

Chan tersenyum miring sambil menata berkas di mejanya.

“Suaramu itu khas, Na. Lalu…” Chan menunjuk kepalanya sendiri lalu menunjuk Nana. Lagi-lagi dilihatnya mulut Nana menganga seperti ikan koi yang pernah Chan lihat di televisi.

“Oh iya, ya. Kan kemarin aku sudah bilang ke kamu kalau aku ganti warna rambut hehehe. Ya sudah, selamat kerja lagi! Semangat!!! Minggu depan liburan, asyik!!!”

Mata Chan mengekor Nana yang berjalan sambil bersenandung ke meja Sean. Chan tersenyum. Lagi-lagi ia harus bersyukur bisa hidup di lingkungan dengan manusia-manusia yang bukan hanya optimis tapi juga positif.


-----


"Kak, ini cerpennya kenapa gak dilanjutkan?"

"Karena... udah bahagia. Hehe."

"Loh, emang kalau udah bahagia terus gak nulis lagi, Kak?"

"Tulisan tuh, buat ngebayangin kebahagiaan yang belum bisa kamu rasain sekarang. Tapi karena pas lagi nulis dapet kebahagiaan, ya udah deh. Udah ada, mending dinikmati."

"Kalau bahagianya hilang?"

"Tulis lagi, sambil cari kebahagiaan lain."

"Hoo."

"Kamu Yaya, ya?"

"Dih! Enggak! Aku Zaza!"

"Kakak tahu, Dek. Kamu lagi pilek, kan? Jadi suaranya persis Zaza. Tapi cadelnya gak bisa hilang, tuh."

"Hehehe ketahuan, deh. Padahal udah kepang persis Zaza."

"Hahaha."

Karena Keana tahu, bahagia banyak caranya, bukan cuma dengan melihat wajah.


*****


Jtn, 22/1/2020

22.17

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dan Beriman: Refleksi dari Sebuah Pilihan

"Kalau tentang pemikiran-pemikiran bunuh diri dan destruktif bagaimana?" "Hmm... Kalau itu sebenernya saya bisa mengendalikan sendiri. Pikiran-pikiran bunuh diri itu memang selau terlintas setiap hari, tapi saya tahu saya gak akan melakukannya karena memang saya tidak berniat untuk itu, hanya sekadar pemikiran yang biasa lewat." Lalu pembahasan kami beralih ke pikiran negatifku yang lain. Yang sangat banyak. Tapi saat itu aku sadar, kalau sebenarnya aku capable untuk memilih . Ternyata aku bisa dengan sadar memilah hal-hal yang menjagaku tetap dalam koridor yang tepat, dalam kasusku, menahan diri untuk tidak mati. Jumat lalu kebetulan baca arti Al-Kahfi, di ayat 29 ada potongan, "...Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir. Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta...

Pengalaman Seleksi CPNS 2021 – SKD Part 2: Hari-H

Sebelumnya: SKD Part 1 πŸ‘ˆ Akhirnya lanjut lagi setelah setahun πŸ˜‚πŸ™πŸ» 8 Oktober 2021. Dresscode peserta ujian adalah kemeja putih dan rok/celana hitam dengan kerudung hitam untuk yang memakai kerudung, sepatu pantofel tertutup berwarna gelap. Saya cuma punya rok dan kerudung saja. Sepatu pantofel dipinjamkan oleh sepupu yang anak Paskibra, kemeja baju putih dipinjamkan sepupu laki-laki. Karena Covid-19, persyaratan jadi lumayan ribet. Peserta diharuskan memakai masker 3 ply + masker kain yang waktu saya coba ya Allah gak bisa bernapas rasanya. Lalu harus juga membawa tes PCR atau Antigen. Saya tentunya memilih opsi paling murah. Karena saya dapat sesi jam 3 sore, paginya saya bisa tes Antigen dengan tenang. Saya berangkat bersama ibu saya jam 7 pagi, tes Antigen, lalu naik kereta turun di Stasiun Duren Kalibata (sekarang udah tahu stasiun kereta yang lebih dekat πŸ₯²), naik angkot, lalu jalan santai ke gedung tempat pelaksanaan tes. Waktu kami tiba, baru jam 11an. Sepanjang jalan...

Pendidikan Ideal

Aku tahu harusnya aku tidak melakukan ini, tapi aku tidak bisa menahan rasa penasaran yang menyelimuti pikiranku tentang orang itu. Beliau adalah Pak Armawan, satpam di masjid kampusku. Kata Pak Yat –satpam masjid yang satunya, namanya harusnya Darmawan, tapi terhapus huruf D-nya saat mendaftarkan kelahiran. Lagi pula, Darmawan rasanya tidak cocok dengan imej pak Armawan yang galak kalau soal parkir-memarkir di masjid kampus. Ada satu hal yang membuatku penasaran tentang beliau, yang membuatku melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan, apalagi saat hari raya: memperhatikan beliau lebih dari memperhatikan bapak dosen yang saat itu sedang berkhutbah. Pak Armawan punya kebiasaan, yaitu menangis mendengar khutbah shalat iedul adha . Padahal khutbah iedul adha menurutku tidak spesial, materinya dari tahun ke tahun itu-itu saja, diawali kisah Nabi Ibrahim yang mencari tuhan sampai ke kisahnya bersama Nabi Ismail tentang kurban. “Mohon maaf lahir batin, Ker,” aku meng...