Langsung ke konten utama

#25 di 2020: Perbedaan

Pernah berpikir kenapa dua kebudayaan berbeda bisa menyatu dalam harmoni? Di bangsal ini, sulit untuk mengerti kata-kata perawat yang menurut telinga Ze seperti kereta lewat. Tapi di akhir kunjungan rutinnya, Ze dan perawat itu bisa tersenyum satu sama lain. Ze akan melihat perawat itu pergi ke tempat tidur lain dan melakukan pengecekan sambil mengajak pasiennya berbicara. Pasiennya hanya mengangguk. Tentu ia tak akan mengerti perawat itu. Ia datang dari tempat yang lebih jauh dari Ze dan orang-orang di bangsal ini.

Ze pernah melihat si kecil An bermain dengan salah satu tentara dari barat, menendang bola bersama, walau An menendang dengan kruknya. Mereka saling tertawa. Tentara itu akan menanyakan bagaimana kaki An. An akan menjawab bahwa sebelumnya ia pernah jadi penyerang dan membawa timnya ke pertandingan kecamatan. Tentu si tentara tidak tahu apa yang An bicarakan, dan An juga tidak tahu apa yang si tentara bicarakan. Tapi, hei, yang penting mereka berinteraksi dengan baik, bukan?

Di sisi lain, Ze melihat ponselnya yang sudah retak. Kolom komentar sibuk menyalahkan, menjelekkan yang tidak sama. Ze pernah ragu, bisa kah manusia yang benar-benar berbeda hidup dalam harmoni? Dengan segala kepesimisan pandangan dunia... maya?

Tapi kalau Ze pikir-pikir, bukankah Ze dan Lim berasal dari tanah yang sama, pun mereka benar-benar berbeda. Ze suka main di lumpur, mendaki gunung. Lim lebih suka membantu ambunya di pasar, berdecak sambil menggeleng kala melihat Ze mengikat tali sepatu bersiap naik ke puncak yang tak ada habisnya. Tapi mereka tetap berpelukan saat bertemu, tetap melempar candaan lama, tetap saling menangisi satu sama lain.

Seperti Ze dan perawat, seperti An dan tentara. Dua budaya berbeda dapat berinteraksi dalam harmoni, saat mereka bertemu. Mungkin budaya terlalu luas, tapi manusia kecil. Ze dan perawat itu, An dan si tentara, hanya individu yang dilabeli budaya. Budaya dapat memilih untuk memberi gambar pada seseorang, tapi untuk tersenyum pada orang lain yang berbeda, itu tetap pilihan.


*****


Jtn, 25/1/2020

22.28

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dan Beriman: Refleksi dari Sebuah Pilihan

"Kalau tentang pemikiran-pemikiran bunuh diri dan destruktif bagaimana?" "Hmm... Kalau itu sebenernya saya bisa mengendalikan sendiri. Pikiran-pikiran bunuh diri itu memang selau terlintas setiap hari, tapi saya tahu saya gak akan melakukannya karena memang saya tidak berniat untuk itu, hanya sekadar pemikiran yang biasa lewat." Lalu pembahasan kami beralih ke pikiran negatifku yang lain. Yang sangat banyak. Tapi saat itu aku sadar, kalau sebenarnya aku capable untuk memilih . Ternyata aku bisa dengan sadar memilah hal-hal yang menjagaku tetap dalam koridor yang tepat, dalam kasusku, menahan diri untuk tidak mati. Jumat lalu kebetulan baca arti Al-Kahfi, di ayat 29 ada potongan, "...Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir. Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta...

Pengalaman Seleksi CPNS 2021 – SKD Part 2: Hari-H

Sebelumnya: SKD Part 1 👈 Akhirnya lanjut lagi setelah setahun 😂🙏🏻 8 Oktober 2021. Dresscode peserta ujian adalah kemeja putih dan rok/celana hitam dengan kerudung hitam untuk yang memakai kerudung, sepatu pantofel tertutup berwarna gelap. Saya cuma punya rok dan kerudung saja. Sepatu pantofel dipinjamkan oleh sepupu yang anak Paskibra, kemeja baju putih dipinjamkan sepupu laki-laki. Karena Covid-19, persyaratan jadi lumayan ribet. Peserta diharuskan memakai masker 3 ply + masker kain yang waktu saya coba ya Allah gak bisa bernapas rasanya. Lalu harus juga membawa tes PCR atau Antigen. Saya tentunya memilih opsi paling murah. Karena saya dapat sesi jam 3 sore, paginya saya bisa tes Antigen dengan tenang. Saya berangkat bersama ibu saya jam 7 pagi, tes Antigen, lalu naik kereta turun di Stasiun Duren Kalibata (sekarang udah tahu stasiun kereta yang lebih dekat 🥲), naik angkot, lalu jalan santai ke gedung tempat pelaksanaan tes. Waktu kami tiba, baru jam 11an. Sepanjang jalan...

Pendidikan Ideal

Aku tahu harusnya aku tidak melakukan ini, tapi aku tidak bisa menahan rasa penasaran yang menyelimuti pikiranku tentang orang itu. Beliau adalah Pak Armawan, satpam di masjid kampusku. Kata Pak Yat –satpam masjid yang satunya, namanya harusnya Darmawan, tapi terhapus huruf D-nya saat mendaftarkan kelahiran. Lagi pula, Darmawan rasanya tidak cocok dengan imej pak Armawan yang galak kalau soal parkir-memarkir di masjid kampus. Ada satu hal yang membuatku penasaran tentang beliau, yang membuatku melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan, apalagi saat hari raya: memperhatikan beliau lebih dari memperhatikan bapak dosen yang saat itu sedang berkhutbah. Pak Armawan punya kebiasaan, yaitu menangis mendengar khutbah shalat iedul adha . Padahal khutbah iedul adha menurutku tidak spesial, materinya dari tahun ke tahun itu-itu saja, diawali kisah Nabi Ibrahim yang mencari tuhan sampai ke kisahnya bersama Nabi Ismail tentang kurban. “Mohon maaf lahir batin, Ker,” aku meng...