Sunyi. Mungkin itu nama film horor yang kamu pernah lihat di tahun kemarin. Tapi bisa kupastikan, hidupku lebih menarik daripada horor picisan yang satu itu.
Desa kami tidak besar, tapi tidak juga kecil. Dari pintu selamat datang sampai pemakaman di belakang desa, hanya memakan waktu 3 jam berjalan kaki. Listrik hanya menyala dari pukul 6 malam sampai 6 pagi. Lampu hanya akan dinyalakan pukul 8 sampai 12 malam. Sayangnya, ini bukan kisah diskriminasi pemerintah yang ditujukan pada kami.
Kami adalah manusia malam. Tentu semua harus dimanfaatkan saat listrik menyala, bukan? Malam-malam kami habiskan berpesta, memasak, belanja ke pasar. Pagi hingga matahari terbenam kami gunakan untuk tidur dan beristirahat.
Para tetua di sini tidak suka aktivitas di terang hari. Para tetua di sini tidak suka kalau kami beraktivitas di terang hari. Tapi namanya juga kaula muda, bandel. Aku salah satunya. Bersama belasan teman mudaku, kami yang malah tertidur saat hari gelap tak lagi mengantuk di terang hari. Kami melakukan aktivitas di siang hari.
Tentu saja orang tua dan tetua marah besar. Masyarakat desa lain juga ikut marahnya. Mereka membawa obor ke hadapan kami dan menghardik, menyumpah, melempar apa saja yang bisa dilempar.
"Ganggu saja orang di pagi hari!" begitu kira-kira artinya.
Aku sebagai yang bebal sudah tidak mempan. Justru membuatku tertantang untuk lebih membangkang. Aku tetap beraktivitas di pagi hari. Pergi mencangkul di pagi hari, mandi di sungai setelahnya, menumbuk jagung siang hari, dan main bola sore hari. Bahkan mengajak kenalan pemudi cantik dari desa sebelah, sampai ia tak berhenti tertawa karena candaanku.
Agaknya warga desa tak tahan dengan sikapku. Pasokan makanan ke desa kami makin hari makin berkurang. Bapak berteriak padaku, menyuruhku tidur saat harusnya tidur.
Apa, sih? Kenapa bapak dan orang-orang tak mau mengerti bahwa beraktivitas di terang hari jauh lebih sehat dan lebih normal daripada malam hari? Kenapa pula hubunganku dengan si pemudi desa sebelah dihalang-halangi?
"Arrrgggghhhhh!!!"
Itu teriakan frustrasiku di sore hari. Mungkin, karena tak tahan denganku, satu per satu penduduk desa mulai pergi. Diam-diam di malam hari, dengan lentera redup beriring mimpi penduduk desa yang dilewati.
Sekarang tinggal beberapa orang di desa ini, termasuk aku. Ada yang masih memilih bangun di malam hari. Ada yang mulai ambil waktu siang hari. Aku sekarang selalu bangun. Teriakan bapak agaknya memunculkan trauma dalam diriku.
|||||
"Paman, desa sebelah sedang pesta, kah?"
"Hus. Jangan sembarangan kau, Rum. Desa terdekat di sini masih 1 jam naik motor."
"Tapi kau tak dengar, Dale? Karawitan kah itu?"
"Sudah, sudah. Tidur, kata ambu jangan pernah bangun dan keluar saat kau dengar suara-suara itu."
"Kenapa, Paman?"
"Nanti kalian terlena dalam pesta di hutan itu."
"Bagaimana dengan suara tumbuk jagung dan lemparan batu sungai tadi, Paman? Itu setan juga?"
...
*****
Jtn, 23/1/2020
23.00
Komentar
Posting Komentar