Langsung ke konten utama

#23 di 2020: Sunyi

Sunyi. Mungkin itu nama film horor yang kamu pernah lihat di tahun kemarin. Tapi bisa kupastikan, hidupku lebih menarik daripada horor picisan yang satu itu.

Desa kami tidak besar, tapi tidak juga kecil. Dari pintu selamat datang sampai pemakaman di belakang desa, hanya memakan waktu 3 jam berjalan kaki. Listrik hanya menyala dari pukul 6 malam sampai 6 pagi. Lampu hanya akan dinyalakan pukul 8 sampai 12 malam. Sayangnya, ini bukan kisah diskriminasi pemerintah yang ditujukan pada kami.

Kami adalah manusia malam. Tentu semua harus dimanfaatkan saat listrik menyala, bukan? Malam-malam kami habiskan berpesta, memasak, belanja ke pasar. Pagi hingga matahari terbenam kami gunakan untuk tidur dan beristirahat.

Para tetua di sini tidak suka aktivitas di terang hari. Para tetua di sini tidak suka kalau kami beraktivitas di terang hari. Tapi namanya juga kaula muda, bandel. Aku salah satunya. Bersama belasan teman mudaku, kami yang malah tertidur saat hari gelap tak lagi mengantuk di terang hari. Kami melakukan aktivitas di siang hari.

Tentu saja orang tua dan tetua marah besar. Masyarakat desa lain juga ikut marahnya. Mereka membawa obor ke hadapan kami dan menghardik, menyumpah, melempar apa saja yang bisa dilempar.

"Ganggu saja orang di pagi hari!" begitu kira-kira artinya.

Aku sebagai yang bebal sudah tidak mempan. Justru membuatku tertantang untuk lebih membangkang. Aku tetap beraktivitas di pagi hari. Pergi mencangkul di pagi hari, mandi di sungai setelahnya, menumbuk jagung siang hari, dan main bola sore hari. Bahkan mengajak kenalan pemudi cantik dari desa sebelah, sampai ia tak berhenti tertawa karena candaanku.

Agaknya warga desa tak tahan dengan sikapku. Pasokan makanan ke desa kami makin hari makin berkurang. Bapak berteriak padaku, menyuruhku tidur saat harusnya tidur.

Apa, sih? Kenapa bapak dan orang-orang tak mau mengerti bahwa beraktivitas di terang hari jauh lebih sehat dan lebih normal daripada malam hari? Kenapa pula hubunganku dengan si pemudi desa sebelah dihalang-halangi?

"Arrrgggghhhhh!!!"

Itu teriakan frustrasiku di sore hari. Mungkin, karena tak tahan denganku, satu per satu penduduk desa mulai pergi. Diam-diam di malam hari, dengan lentera redup beriring mimpi penduduk desa yang dilewati.

Sekarang tinggal beberapa orang di desa ini, termasuk aku. Ada yang masih memilih bangun di malam hari. Ada yang mulai ambil waktu siang hari. Aku sekarang selalu bangun. Teriakan bapak agaknya memunculkan trauma dalam diriku.

|||||

"Paman, desa sebelah sedang pesta, kah?"

"Hus. Jangan sembarangan kau, Rum. Desa terdekat di sini masih 1 jam naik motor."

"Tapi kau tak dengar, Dale? Karawitan kah itu?"

"Sudah, sudah. Tidur, kata ambu jangan pernah bangun dan keluar saat kau dengar suara-suara itu."

"Kenapa, Paman?"

"Nanti kalian terlena dalam pesta di hutan itu."

"Bagaimana dengan suara tumbuk jagung dan lemparan batu sungai tadi, Paman? Itu setan juga?"

...


*****


Jtn, 23/1/2020

23.00

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dan Beriman: Refleksi dari Sebuah Pilihan

"Kalau tentang pemikiran-pemikiran bunuh diri dan destruktif bagaimana?" "Hmm... Kalau itu sebenernya saya bisa mengendalikan sendiri. Pikiran-pikiran bunuh diri itu memang selau terlintas setiap hari, tapi saya tahu saya gak akan melakukannya karena memang saya tidak berniat untuk itu, hanya sekadar pemikiran yang biasa lewat." Lalu pembahasan kami beralih ke pikiran negatifku yang lain. Yang sangat banyak. Tapi saat itu aku sadar, kalau sebenarnya aku capable untuk memilih . Ternyata aku bisa dengan sadar memilah hal-hal yang menjagaku tetap dalam koridor yang tepat, dalam kasusku, menahan diri untuk tidak mati. Jumat lalu kebetulan baca arti Al-Kahfi, di ayat 29 ada potongan, "...Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir. Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta...

Pengalaman Seleksi CPNS 2021 – SKD Part 2: Hari-H

Sebelumnya: SKD Part 1 👈 Akhirnya lanjut lagi setelah setahun 😂🙏🏻 8 Oktober 2021. Dresscode peserta ujian adalah kemeja putih dan rok/celana hitam dengan kerudung hitam untuk yang memakai kerudung, sepatu pantofel tertutup berwarna gelap. Saya cuma punya rok dan kerudung saja. Sepatu pantofel dipinjamkan oleh sepupu yang anak Paskibra, kemeja baju putih dipinjamkan sepupu laki-laki. Karena Covid-19, persyaratan jadi lumayan ribet. Peserta diharuskan memakai masker 3 ply + masker kain yang waktu saya coba ya Allah gak bisa bernapas rasanya. Lalu harus juga membawa tes PCR atau Antigen. Saya tentunya memilih opsi paling murah. Karena saya dapat sesi jam 3 sore, paginya saya bisa tes Antigen dengan tenang. Saya berangkat bersama ibu saya jam 7 pagi, tes Antigen, lalu naik kereta turun di Stasiun Duren Kalibata (sekarang udah tahu stasiun kereta yang lebih dekat 🥲), naik angkot, lalu jalan santai ke gedung tempat pelaksanaan tes. Waktu kami tiba, baru jam 11an. Sepanjang jalan...

Pendidikan Ideal

Aku tahu harusnya aku tidak melakukan ini, tapi aku tidak bisa menahan rasa penasaran yang menyelimuti pikiranku tentang orang itu. Beliau adalah Pak Armawan, satpam di masjid kampusku. Kata Pak Yat –satpam masjid yang satunya, namanya harusnya Darmawan, tapi terhapus huruf D-nya saat mendaftarkan kelahiran. Lagi pula, Darmawan rasanya tidak cocok dengan imej pak Armawan yang galak kalau soal parkir-memarkir di masjid kampus. Ada satu hal yang membuatku penasaran tentang beliau, yang membuatku melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan, apalagi saat hari raya: memperhatikan beliau lebih dari memperhatikan bapak dosen yang saat itu sedang berkhutbah. Pak Armawan punya kebiasaan, yaitu menangis mendengar khutbah shalat iedul adha . Padahal khutbah iedul adha menurutku tidak spesial, materinya dari tahun ke tahun itu-itu saja, diawali kisah Nabi Ibrahim yang mencari tuhan sampai ke kisahnya bersama Nabi Ismail tentang kurban. “Mohon maaf lahir batin, Ker,” aku meng...