Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Putih

Putihku ada di dalam Putihku tertumpuk di dasar Putihku dinding dari segala tumpahan tinta-tinta ambisi tertunda

Dengan Hati

Hujan. Sunyi. Hanya ada aku, bulan, dan air yang menetes dari dedaunan. Tidak ada manusia, tidak ada musik, tidak ada kopi yang menghangatkan mataku, bayangkan saja.

Fear

Who to fear? If you fear ghost, fear Allah more than you fear them

Menari di Bawah Purnama

Purnama. Ayah biasanya akan selalu duduk di teras sambil meneguk segelas bajigur hangat saat purnama datang. Pintu rumah selalu dibukanya, tak peduli berapa banyak binatang kecil seperti nyamuk yang berlalu lalang keluar masuk, biasanya aku yang jadi korban. Ayah sangat suka purnama, ayah akan lebih suka jika hujan gerimis saat purnama. Namaku pun menyandang ‘Purnama’ di bagian belakang, padahal aku lahir seminggu setelah bulan purnama –kata ayah. Ayah akan duduk di kursi yang bukan kursi goyang semalaman, biasanya sampai jam 2 di pagi hari, menatapi purnama, dengan mata berkaca.

Ombak Pun Tidak Berpihak Padaku

Pantai ini cukup terkenal. Terkenal karena... apa, yah? Pasir? Pasir abu-abu biasa yang menjadi hitam ketika terkena air garam. Air laut? Seperti air laut kebanyakan, asin, berbusa, bergaram. Atraksi? Tidak ada atraksi khusus, setiap orang beratraksi sendiri. Pedagang? Pedagang biasa, berjualan mie instan, sate, layang-layang, kincir angin. Ombaknya? Ku beri tahu, bukan ombak yang bagus dipakai berselancar. Murni kesenangan pribadi.

Komedi Putar

Gerimis sudah berhenti sejak sore. Satu per satu lampu-lampu hias mulai bersinar seperti pasukan perang yang mengangkat pedangnya memantulkan sinar rembulan. Silau. Beberapa orang pedagang mulai membuka lapak diikuti banyak yang lain. Alas plastik digelar di atas jalanan becek, ditumpuk dengan berbagai sandang pangan perhiasan atau sekedar koran. Generator-generator mulai ditarik, asap kada ng mengepul dari mesin-mesin usang berkarat itu. Tanah parkiran mulai dibentuk roda-roda ketertarikan manusia. Bersama keluarga, bersama teman, berharap kesenangan hanya untuk semalam. Pasar malam resmi dibuka.

Kereta

Kereta itu penuh sesak dengan orang-orang. Gambir-Majapahit. Musim panas yang mulai menyengat sejak sebulan lalu membuat asap terlihat mengepul dari besi baja itu, seperti gambar adegan film yang diambil di tengah padang pasir yang panas. Orang-orang berdiri dan duduk dengan berbagai pose, setiap lima detik sekali menarik napas lewat mulutnya, lalu menutupnya kembali dengan kain tipis basah yang melekat di tubuhnya. Ayam-ayam bawaan penumpang itu berkokok-kokok keras membuat dahi orang yang berdiri di sebelahnya mengrenyit dan mendelik sebal. “Hei, kenapa tidak pindah saja ke gerbong dua belas? Sudah panas bawa binatang pula, mau mengadu ayam, ya, kau?” lelaki berbadan gemuk besar itu mencondongkan badannya ke arah Yasin, pemilik ayam-ayam jantan itu. “Kita sudah empat puluh tahun merdeka, hak kita semua sama, Tuan. Emansipasi bukan hanya untuk wanita saja.”

Hati Manusia Indonesia

Ada suatu masa di antara masa masa Ada suatu tempat di antara tempat tempat Di dalamnya ada Indonesia Indonesiaku... Indonesiaku punya berbagai macam manusia Macam-macam sifatnya, macam-macam pula perilakunya