Membaca buku Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman, seperti membaca catatan perjalanan yang diabadikan karena tahu dua puluh tahun ke depan, pembaca mungkin tidak akan ingat siapa yang melakukan perjalanan.
Bersama dengan empat bapak bangsa Republik Indonesia lainnya, Sukarno, Tan Malaka, dan Sutan Sjahrir; Tempo menerbitkan serial monograf Bapak Bangsa: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman.
Kalau biografi biasanya dirunutkan dari hari kelahiran hingga kematian, buku ini lebih berfokus pada tempat-tempat berkesan bagi Hatta dan teman-teman seperbuangannya. Lain waktu menghasilkan cerita, tapi tempat menghasilkan cerita. Seperti prolognya, kita akan bertamasya sejarah bersama Bung Hatta.
Saat membaca buku ini, kita akan dibawa ke tempat-tempat Hatta menghabiskan waktu dengan buku-bukunya. Dari Bukit Tinggi sampai ke Rotterdam, hingga ke pengasingan di Banda Neira. Dari menguatkan pondasinya sebagai seorang Muslim dan berkenalan dengan buku, hingga mempertahankan prinsip sebagai akademisi di dunia politik.
Bagian menarik dalam buku ini tentunya saat Hatta bersama Sutan Sjahrir dibuang ke Digul dan Banda Neira oleh pemerintah Hindia Belanda. Hatta membawa belasan peti berisi buku. Dalam pembuangannya, tidak mengurung diri dalam kebosanan (hal yang membuat banyak tahanan jadi gila), ia menghabiskan waktu membaca buku, jalan-jalan sore, berkebun, sampai membangun sekolah. Banyak cerita-cerita lucu pun cerita biasa tapi membuat kita bergumam "Hatta sekali".
Salah satu hal yang bagi saya menakjubkan adalah sering kali perlawanan dan peperangan politik pada masa Bung Hatta disampaikan lewat tulisan artikel di koran. Pernah Hatta dituduh sebagai Marxist oleh penulis anonim di majalah multinasional, artikel itu adalah artikel balasan dari tulisan Hatta yang membahas ekonomi dunia. Hatta lalu membalas dengan membuat 23 halaman artikel berbahasa Belanda berjudul Epigonewijsheid? (Marxisme atau Kearifan Sang Epigon?). Mungkin kalau zaman sekarang sama seperti balas-balasan viral lewat postingan, tapi di masa itu kekuatan tulisan benar-benar seperti senjata yang bisa mengguncang peta jalan negara.
Selesai membaca buku ini, kita akan tahu, pun kalau Hatta dibuang lebih jauh, diasingkan lebih lama, dihukum dengan kejam, apapun, selama ia masih bisa membaca, ia akan terus melawan lewat tulisan.
Pertama kali saya kembali membaca ulang buku ini adalah beberapa kilometer dari Polda Metro Jaya, satu hari setelah rantis yang membunuh Affan Kurniawan mengamankan diri ke sana. Lalu saya menyadari, kritikan Hatta terhadap Sukarno masih relevan selama penguasa tidak memberikan batasan kepada kalangannya.
Janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan.
Buku ini cocok untuk dibaca setiap tahun, untuk dirasakan relevansinya dengan peristiwa yang terjadi di negeri ini, untuk jadi pengingat bahwa sejarah tidak pernah berulang, manusia yang selalu berulang, dan tentunya untuk dijadikan teladan, bagaimana keteguhan pada prinsip menghasilkan ketenangan hati.
Jakarta, 17 November 2025

Komentar
Posting Komentar