"Ini baju adik lo?"
Yudha mengangguk. "Baju ibu sama bapak juga."
"Lo tinggal berempat berarti sama mereka?"
Yudha menggeleng. "Saya dengan adik di lantai 3. Ibu dan bapak di bawah."
Kiara mengangguk-angguk. "Kok gue baru lihat lo, ya? Padahal gue udah tinggal di sini dua tahun."
Yudha tersenyum, "Saya baru pindah tiga bulan yang lalu. Sebelumnya saya di Jakarta Utara. Diminta bapak menjaga rusun dan adik karena bapak dan ibu kadang suka berdagang ke luar kota."
Kiara mengangguk-angguk. Anak berbakti.
"Kamu kuliah di UI, ya? Angkatan berapa?"
Kiara mengangguk, tidak curiga, karena waktu pertama mereka bertemu Kiara memakai jaket kuning itu. "1997."
"Kamu hebat ya, Kiara."
Kiara menatap Yudha bertanya.
"Kamu itu keturunan Tionghoa, tapi bisa berkuliah di UI, di tahun reformasi pula. Saya sih tidak mempermasalahkan, tapi pasti banyak orang yang mempermasalahkan. Belum lagi kerusuhan di mana-mana. Bahaya sekali kalau kamu berkeliaraan ke mana-mana tahun 1998."
Kiara tidak menjawab, ia mengingat kembali kerusuhan tahun lalu, yang menewaskan kakek dan kakaknya. Memang benar, kuliah di UI berisiko dan berkeliaraan di Jakarta berbahaya. Nyawa taruhannya.
"Maka dari itu saya berani bilang, kamu itu wanita hebat. Buktinya kamu masih berkuliah di UI sampai sekarang. Keluarga besarmu pasti bangga."
*****
Jtn, 19/1/2020
23.15
Komentar
Posting Komentar