“Wendy.”
Wendy menoleh pada ayahnya yang sekarang di depan pintu kamar membawa segelas cokelat hangat. “Kamu lupa bikin cokelat.”
“Yah, I’m 24. Aku bisa bikin sendiri,” Wendy menghampiri ayahnya dan mengambil cokelatnya.
“Kamu kenal sama orang yang tadi?”
Wendy duduk di kasurnya dan menyesap cokelatnya, ia mengangguk. “Sekarang udah kenal. Ayah juga pasti kenal. Kenapa kemarin pura-pura gak ngeh?”
Ayahnya mengangkat bahu, “Ayah gak begitu kenal.”
“Ya tapi pasti Ayah tahu kan dia penyebab kecelakaanku?”
Ayah Wendy menghela napas dan duduk di meja belajar Wendy. “Kamu percaya?”
“I don’t know. Everything was clear. The police, the cctv, everything…,” Wendy mengangkat bahunya, mengeratkan genggaman pada gagang gelas cokelat. Ayahnya mengangguk, “It’s clear,” dan ayahnya setuju.
“Terus kenapa dia bilang begitu?”
Ayahnya mengambil buku tugas milik Wendy dan membolak-balik bukunya, “Are you angry?”
“I am. I do. It’s just like… he said that on purpose. To tell me that he killed Lilianne,” Wendy berdecak kesal, “to tell me to hate him.”
Lagi-lagi ayahnya mengangguk, tapi mengangkat bahunya, “I can’t say anything about that,” lalu ia tertawa kecil, meletakkan buku tugas Wendy. Ayah Wendy bangkit lalu menepuk pelan pundak Wendy.
“Ayah rasa kamu gak perlu anggap dia serius. Kalau gak suka ya gak usah diladenin, toh?”
Lalu ayahnya keluar dari kamarnya. Wendy masih diam.
*****
Jtn, 24/1/2020
23.40
Komentar
Posting Komentar