Aku tahu
harusnya aku tidak melakukan ini, tapi aku tidak bisa menahan rasa penasaran
yang menyelimuti pikiranku tentang orang itu. Beliau adalah Pak Armawan, satpam
di masjid kampusku. Kata Pak Yat –satpam masjid yang satunya, namanya harusnya
Darmawan, tapi terhapus huruf D-nya saat mendaftarkan kelahiran. Lagi pula,
Darmawan rasanya tidak cocok dengan imej pak Armawan yang galak kalau soal
parkir-memarkir di masjid kampus.
Ada satu hal
yang membuatku penasaran tentang beliau, yang membuatku melakukan hal yang
seharusnya tidak dilakukan, apalagi saat hari raya: memperhatikan beliau lebih
dari memperhatikan bapak dosen yang saat itu sedang berkhutbah.
Pak Armawan
punya kebiasaan, yaitu menangis mendengar khutbah shalat iedul adha. Padahal khutbah iedul
adha menurutku tidak spesial, materinya dari tahun ke tahun itu-itu saja,
diawali kisah Nabi Ibrahim yang mencari tuhan sampai ke kisahnya bersama Nabi
Ismail tentang kurban.
“Mohon maaf
lahir batin, Ker,” aku mengangkat kepalaku, teman satu unitku, Redam, sudah
berdiri dan menyodorkan tangannya kepadaku.
“Iya, mohon
maaf lahir batin juga. Nanti bantu-bantu DKM, kan?”
“Iya. Kuy,
makan. Pak Andri tadi minta semua panitia sarapan dulu sebelum nyembelih.”
Aku
mengikuti Redam berjalan kembali ke masjid. Aku menoleh kembali ke arah
lapangan, orang yang tadi aku perhatikan itu sedang berbincang dengan beberapa
rekan satpamnya dan juga para dosen fakultas yang juga menjabat sebagai
pengurus masjid kampus.
“Khutbah
tadi dalem ya, Ker?” tanya Redam tiba-tiba saat kami duduk di selasar masjid
untuk minum.
“Eh?” dalam apanya?
“Pak Maw aja
sampai nangis,” lanjutnya. Ia memanggil Pak Armawan dengan Pak Maw.
“Dia mah
setiap khutbah iedul adha selalu
nangis,” kataku.
“Tahu kenapa
Pak Maw, dan banyak bapak lainnya selalu nangis tiap dengar khutbah iedul adha?”
Aku
menggeleng.
“Salah satu kekhawatiran
terbesar seorang ayah adalah mendidik anak dengan cara sebagaimana ia dididik
waktu kecil. Entah khawatir tidak bisa mendidik seperti bapaknya dulu, atau
khawatir akan jadi figur bapak seperti bapaknya dulu.”
Aku mengerutkan
kening, tidak mengerti.
“Dan bagi
Pak Maw, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membawakan cerita yang lebih dalam dari
kesabaran sepasang bapak dan anak terhadap perintah Allah.”
Aku
menggeleng, masih tidak mengerti.
“Saat Nabi
Ibrahim diberikan mimpi menyembelih Ismail itu, apa yang pertama ia tanyakan?”
“’Bagaimana
pendapatmu?’?”
“Bukannya menekankan
otoritas seorang ayah dengan ‘Aku akan menyembelihmu, ambil pisau dan pergi ke
luar’, ia malah bertanya, ‘Pikirkanlah apa pendapatmu’. Seperti kata Prof. Eno
tadi saat khutbah, Nabi Ibrahim menjadi teladan bagaimana seorang ayah harus
bersikap pada anaknya.”
Aku mengusap
tangan kiriku, masih mendengarkan.
“Nabi
Ibrahim adalah contoh ideal pendidikan kasih sayang dan rasa hormat seorang
ayah pada anaknya.”
Aku
tersenyum miring, mengingat sejarah kami berdua, “Kalau begitu, bapak-bapak
kita tidak melakukan pendidikan ideal pada kita ya, Dam?”
Redam ikut
tersenyum, “Nabi Ibrahim dikaruniai Nabi Ismail, Ker. Bukan dikaruniai kita.
Bukan dikaruniai sembarang orang. Nabi Ismail tidak mengelak seperti kita, Nabi
Ismail tidak meneriakkan kata-kata gila pada ayahnya seperti kita. Ia justru
berkata dengan lembutnya, ‘Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
Allah kepadamu’.”
Aku tertawa,
tapi air mataku mengalir. Pak Armawan mungkin menangis karena tidak melakukan
apa yang Nabi Ibrahim lakukan pada anaknya. Dan aku juga Redam mungkin menyesal
tidak bersikap seperti Nabi Ismail saat diperintahkan ayahnya.
“Ketabahan
Nabi Ismail sebagai seorang anak memang tidak ada yang bisa menandingi. Jangan
terlalu menyalahkan diri, Ker. Juga jangan terlalu menyalahkan bapak-bapak kita.
Ayah dan anak seperti Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail memang paket lengkap. Kasih
sayang atas dasar ketaatan pada Allah memang akan selalu berbuah manis.
“Tapi ingat
juga, ujian Nabi Ismail itu luar biasa sulitnya. Maka kalau Nabi Ismail dapat
melaluinya dengan ketabahan atas dasar ketaatan pada Allah, yang harus kita
lakukan adalah menjadikannya teladan. Tekankan baik-baik agar kita tidak lupa
pendidikan seperti apa yang Nabi Ibrahim ajarkan kepada Nabi Ismail juga kita.”
Sumedang,
11/8/2019
20.50
Dari khutbah Iedul Adha 1440 H @ Masjid Al-Jabbar ITB Jatinangor
Dari khutbah Iedul Adha 1440 H @ Masjid Al-Jabbar ITB Jatinangor
Komentar
Posting Komentar