Hari ini Ara, Bian, dan Caka menerima masing-masing 30 butir telur dari kantor. Telur-telur ditaruh di dalam plastik karena egg box-nya hanya ada satu.
Sejak menerima telur-telur itu, Ara jadi lebih cemas. Ara berjalan pulang dengan membawa plastik telur di tangannya, perhatiannya ia salurkan penuh pada telurnya. Beberapa kali Ara tersandung karena tidak melihat jalan. Setiap tersandung pula, Ara memeriksa isi telurnya, memastikan tidak ada yang pecah. Sampai di rumah, Ara baru sadar, perjalanan yang biasa ia tempuh selama 15 menit, sekarang jadi hampir 1 jam. Saat ia bergegas ke dapur untuk mengeluarkan telur-telurnya, ternyata beberapa telur pecah dari tersenggol tembok di gang sempit. Beberapa lain retak. Ara menyesal dan membuang telur yang pecah juga retak, dan beberapa yang kotor dengan putih dan kuning telur, karena terlalu menjijikkan.
Bian menerima telur-telur itu dalam plastik, lalu membungkusnya dengan totebag kain yang selalu dibawanya kalau-kalau ia tiba-tiba harus belanja. Ia juga menyelipkan beberapa lembar tisu ke sela-sela tiap telur. Bian berjalan ke rumah dengan totebag berisi telur di tangannya. Di jalan, ia sempat membeli takjil untuk berbuka. Pulang ke rumah, ia bergegas ke dapur untuk mengeluarkan telur-telurnya. Ada beberapa telur yang retak, ia ambil penggorengan lalu memasak telurnya yang retak.
Caka juga menerima telur-telur dalam plastik. Pulang ia berjalan sambil mendengarkan musik dan ikut dalam irama. Di jalan sempit, ia berjalan santai sambil menari-nari mengikuti alunan musik. Sampai rumah, ia pergi ke dapur untuk mengeluarkan telur-telurnya. Ternyata, banyak telurnya yang pecah. Caka membuang banyak telurnya dan meninggalkannya tanpa dicuci karena sudah terlalu kesal.
Sedangkan si telur kadang geleng-geleng, dia tahu dia adalah telur. Dia tahu dia rapuh, tapi tidak serapuh itu. Telur akan bertahan kalau semua orang punya sedikit saja kepercayaan.
-|-|-|-|-
Ara, Bian, dan Caka adalah kita yang berusaha dengan caranya masing-masing untuk mencapai suatu tujuan, menempatkan telur-telur pada kulkas yang dingin dan aman dari segala pembuat retak.
Kadang kita seperti Ara. Khawatir sekali ada yang salah dalam hidup, inginnya semua sempurna dan sesuai rencana. Kita terus memerhatikan telur, memastikan tak ada cacat, tapi jalan tidak kita perhatikan. Keselamatan telur diutamakan, kita belakangan. Saat ada yang salah, bukannya memilah, kita malah menyerah dan meninggalkan semua usaha yang tak tampak hasilnya. Kita mulai dari awal lagi, belajar dari 0 lagi, padahal mungkin level kita sudah ke 10.
Kadang kita seperti Bian. Merencanakan sesuatu, membungkusnya baik-baik dengan harapan tidak ada yang keluar dari tempatnya. Lalu kita berjalan dan terus berjalan, karena kita yakin kita sudah berusaha cukup. Karena tidak akan ada yang sempurna, maka cukup adalah cukup. Saat ada yang tak berjalan sesuai rencana, kita tidak membuang telur ke tempat sampah, kita manfaatkan yang rusak untuk menunjang langkah kita.
Kadang pula kita seperti Caka. Hidup sekenanya, dapat rezeki alhamdulillah, tidak juga bodo amat. Gagal ya sudah, tidak usah dicoba lagi.
Telur masih menggeleng-geleng. Telur memang rapuh, tapi dia juga kuat, makanya bisa jadi ayam, kan? Sang Pencipta percaya telur bisa memberi manfaat, mau ia berubah jadi ayam atau jadi dadar gulung. Makanya diciptakan seperti itu. Kalau saja orang-orang percaya pada telur seperti halnya Sang Pencipta. Juga kalau saja orang-orang percaya Sang Pencipta ikut menjaga telur-telur.
“Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim)"
Maka tak masalah, saat burung itu kehilangan cacing dari mulutnya, selama ia telah berusaha membawa cacing itu ke dalam mulutnya. Tak masalah, saat ia pergi lebih lama dari biasanya, selama ia kembali dalam keadaan kenyang. Tak masalah, Allah tahu ia telah berusaha.
Komentar
Posting Komentar