Langsung ke konten utama

#Ngabubuwrite - Day 16: Half of Half

As the meeting ended, she walked outside the bullpen, getting ready to chase another one. She knew the tall man had been staring at her since she first entered the meeting room. He kept staring at her wrist, when her old analog watch curled beautifully.

She didn't want him to feel guilty, it was all in the past. She didn't blame him for her sister's death. Never.

"Do you need something?" she approached him, maybe she could end whatever it was in his mind. But he stood still, with his cold look, and cold eyes, and black attire. Even back in her childhood days he always wore black. Those eyes are cold, but she knew he had been hurt for the past 15 years.

"I will say it for once," she said looking at his black eyes.

"I'm not mad at you," she never was, and never would, "I just think you're stupid."

It was like he tried to read her mind while she did the same. The difference was that his expressionless face covered most of his scars.

"It was her choice. I don't blame anyone. She doesn't want you to blame yourself too," she conclude. And when she didn't get the reaction, she decided that it was done and enough. At least at the time he knew she never blamed him.

She was about to get back to where she was before, but she noticed he was staring, at her wrist again, at her watch. She touched her watch, "This is the last gift she gave to me before she's gone," and she smiled a little.

He nodded, literally his first reaction since the one-side conversation started.

"It was your gift to her, wasn't it?" she deduced, he was all silent.

The watch had been an important part of her life. It reminded her to her sister and how she gave up everything to let her live. The watch was the only item her sister had but never used, or never got the chance to. She gave it to her the last day they met. She wore the watch just on some occasions, wherever she felt she needed strength.

"Do you want to take it back?" she looked at his eyes again. It's okay if he wanted to take it.

"No. It looks good on you," the first and probably the last word he said. She nodded. When he said nothing more, she turned and walk to where she was about to go. He stood still.

*****

Jtn, 9/5/2020; 17.46

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dan Beriman: Refleksi dari Sebuah Pilihan

"Kalau tentang pemikiran-pemikiran bunuh diri dan destruktif bagaimana?" "Hmm... Kalau itu sebenernya saya bisa mengendalikan sendiri. Pikiran-pikiran bunuh diri itu memang selau terlintas setiap hari, tapi saya tahu saya gak akan melakukannya karena memang saya tidak berniat untuk itu, hanya sekadar pemikiran yang biasa lewat." Lalu pembahasan kami beralih ke pikiran negatifku yang lain. Yang sangat banyak. Tapi saat itu aku sadar, kalau sebenarnya aku capable untuk memilih . Ternyata aku bisa dengan sadar memilah hal-hal yang menjagaku tetap dalam koridor yang tepat, dalam kasusku, menahan diri untuk tidak mati. Jumat lalu kebetulan baca arti Al-Kahfi, di ayat 29 ada potongan, "...Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir. Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta...

Pengalaman Seleksi CPNS 2021 – SKD Part 2: Hari-H

Sebelumnya: SKD Part 1 👈 Akhirnya lanjut lagi setelah setahun 😂🙏🏻 8 Oktober 2021. Dresscode peserta ujian adalah kemeja putih dan rok/celana hitam dengan kerudung hitam untuk yang memakai kerudung, sepatu pantofel tertutup berwarna gelap. Saya cuma punya rok dan kerudung saja. Sepatu pantofel dipinjamkan oleh sepupu yang anak Paskibra, kemeja baju putih dipinjamkan sepupu laki-laki. Karena Covid-19, persyaratan jadi lumayan ribet. Peserta diharuskan memakai masker 3 ply + masker kain yang waktu saya coba ya Allah gak bisa bernapas rasanya. Lalu harus juga membawa tes PCR atau Antigen. Saya tentunya memilih opsi paling murah. Karena saya dapat sesi jam 3 sore, paginya saya bisa tes Antigen dengan tenang. Saya berangkat bersama ibu saya jam 7 pagi, tes Antigen, lalu naik kereta turun di Stasiun Duren Kalibata (sekarang udah tahu stasiun kereta yang lebih dekat 🥲), naik angkot, lalu jalan santai ke gedung tempat pelaksanaan tes. Waktu kami tiba, baru jam 11an. Sepanjang jalan...

Pendidikan Ideal

Aku tahu harusnya aku tidak melakukan ini, tapi aku tidak bisa menahan rasa penasaran yang menyelimuti pikiranku tentang orang itu. Beliau adalah Pak Armawan, satpam di masjid kampusku. Kata Pak Yat –satpam masjid yang satunya, namanya harusnya Darmawan, tapi terhapus huruf D-nya saat mendaftarkan kelahiran. Lagi pula, Darmawan rasanya tidak cocok dengan imej pak Armawan yang galak kalau soal parkir-memarkir di masjid kampus. Ada satu hal yang membuatku penasaran tentang beliau, yang membuatku melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan, apalagi saat hari raya: memperhatikan beliau lebih dari memperhatikan bapak dosen yang saat itu sedang berkhutbah. Pak Armawan punya kebiasaan, yaitu menangis mendengar khutbah shalat iedul adha . Padahal khutbah iedul adha menurutku tidak spesial, materinya dari tahun ke tahun itu-itu saja, diawali kisah Nabi Ibrahim yang mencari tuhan sampai ke kisahnya bersama Nabi Ismail tentang kurban. “Mohon maaf lahir batin, Ker,” aku meng...