Nugget butuh proses yang panjang untuk bisa jadi nugget. Prosesnya tidak sebentar, tidak mudah, dan tidak bisa dibilang tidak menyakitkan, terutama bagi ayam.
Pertama, kita pilih dulu ayam mana yang tampangnya tidak melas untuk disembelih. Lalu direbus dulu biar bulu ayamnya bisa dipisahkan dari kulit. Lalu kulitnya dikuliti (?) agar bersisa daging dan tulang. Belum cukup penderitaan mantan ayam, dagingnya dipisahkan dengan tulang lalu digiling biar mudah dibentuk.
Setelah itu, bumbu-bumbu dicampurkan dengan daging giling, biar hidup (mantan ayam) jadi lebih berwarna -eh, berasa.
Baru, setelah diberi warna warni, daging giling siap untuk dibentuk. Ternyata, biar hasilnya lebih bagus, adonan giling harus direbus lalu ditinggalkan biar dingin. Habis itu, dibaluri sprinkle-sprinkle panir biar tampilannya lebih sedap. Lalu? Digoreng, penderitaan terakhir sebelum dipandangi dengan air liur mengalir dan masuk ke mulut-mulut manusia yang belum tentu baca bismillah sebelum mengunyah.
Bukankah nugget dengan manusia sama?
Disayat, belum cukup. Digiling, biar sadar, belum cukup juga. Direbus, digoreng, biar tahu rasanya sakit dan tidak bisa apa-apa, kecuali diangkat dari penggorengan oleh Yang Maha Menolong.
Didinginkan, biar merenung. Belum cukup juga? Ditaburi perspektif-perspektif positif, biar bisa menutupi aib.
Sang Pemilik selalu punya berbagai macam cara yang tidak biasa untuk menguji kualitas milik-Nya. Dan tidak seperti nugget, manusia punya pilihan ke mana untuk pergi saat quality control-nya belum sampai pada titik yang seharusnya.
*****
Jtn, 2/5/2020; 17.42
Komentar
Posting Komentar