Assalamu'alaikum, aku disini untuk membuat sebuah cerpen, kalau kalian lihat ini seperti karya orang lain, itu salah, aku memang terinspirasi dari kisah orang lain, dibaca, ya, semoga bermanfaat
*****
Panas, aku membaringkan tubuhku di tempat tidur rumahku, launching buku tadi membuatku lelah luar biasa. Aku menatap lemari yang penuh dengan piala milikku, tiba-tiba kakiku melangkahkan dirinya ke lemari itu, aku tatapi satu persatu, dan tertuju pada sebuah piala usang, aku mengambilnya membersihkannya dari debu, menatapnya, dan mulai membuka kembali lembaran memoriku...
Flash Back:
Yeah!!! Aku senang sekali hari ini... Akhirnya setelah satu bulan mempersiapkan diri, akhirnya aku bisa mendapatkan juara I lomba menulis cerpen se-kabupaten, dan Insya Allah, 2 bulan lagi, aku akan maju ke tingkat provinsi. Alhamdulillah... Aku sudah tidak sabar ingin memberitahukan hal ini kepada ayah dan ibu di rumah, aku membayangkan mereka berdua pasti tersenyum bangga padaku.
Di rumah...
"Ayah... Ayah... Lihat, Yah, apa yang aku bawa!" ucapku sambil berlari menuju ayahku yang sedang menonton tv di ruang keluarga.
Ayah menengok tanpa ekspresi, namun mukanya terlihat penasaran, lalu aku tunjukkan piala yang aku bawa, dan sebuah piagam penghargaan, "Yah, aku menang lomba menulis cerpen, Ayah pasti senang!" kataku bersemangat, namun ayah hanya memandangku sebentar, lalu melanjutkan aktivitasnya dengan tvnya.
Aku sedikit kecewa terhadap sikap ayah, aku langsung mencari ibu, "Ibu.... Ibu..... Ibu kemana, sih?" Aku berputar-putar keliling rumah, tapi ibu tidak ada, ah, mungkin sedang pergi ke pasar kali...
Kamar
Aku membaringkan tubuhku di tempat tidurku, menatap piala dan piagam penghargaan yang diserahkan dan langsung ditandatangani oleh bapak bupati, tidak berapa lama, aku mendengar suara ibu.
"Silvi mau dibeliin apa sama Ayah dan Ibu?" ternyata ibu sedang bersama kak Silvi
"Silvi mau dibeliin laptop Acer model baru, Bu."
"Oh, ya sudah, nanti Ibu bilang dulu, ya, sama Ayah."
"Pokoknya mau Ayah setuju gak setuju Ibu harus beliin Silvi laptop!" terdengar agak keras suara kak Silvi
Aku langsung berlari menuju ibu, "Bu.... Ibu... Ibu habis dari mana?" tanyaku setelah melihat ibu dan kak Silvi. "Ibu habis dari Bekasi Square, mengantar Silvia lomba melukis, Silvia menang, lho." ucap ibu dengan bangga, lalu dahi ibu mengrenyit, "Apa yang kamu bawa?" tanya ibu melihat piala yang aku bawa, "Aku menang lomba menulis cerpen tingkat kabupaten, bu! 2 bulan lagi aku akan maju ke tingkat provinsi." ucapku bangga sambil menunjukkan pialaku. Namun ibu hanya diam.
"Bu, pialanya aku pajang di lemari depan, ya?" tanyaku, "Tidak usah, di kamar kamu saja, di depan khusus untuk pialanya Silvia." ucap ibu, aku agak kecewa, tapi aku tidak boleh egois, aku menyalami kak Silvi dan mengucapkan selamat padanya, lalu aku kembali ke kamar.
=====
Yah, itulah ibu dan ayah, mereka selalu membanggakan kakakku, kak Silvia, mereka terlalu berlebihan, setiap keinginan kak Silvi selalu saja diberikan, hadiah ulang tahun pun sebuah perayaan besar-besaran di restoran mahal dan sebuah motor Scoopy, sedangkan aku? Ibu tidak akan pernah memberiku ucapan selamat kalau aku tidak mengingatkan, selalu tidak diperhatikan, bahkan tidak pernah menanyakan bagaimana sekolahku!
Hari-hari selalu aku lewati dengan kecemburuan kepada kakakku, dia memang cantik, matanya indah, rambutnya panjang lurus, tapi sepertinya bukan karena itu ayah dan ibu memperlakukannya lebih.
Astaghfirullah... Ya Allah... sabar... sabar... Mungkin kak Silvi belum mampu.
=====
Aku duduk di bangku panjang depan sekolah sambil meminum jus alpukat yang aku beli di kantin sekolah hari ini, panas sekali, aku yakin pasti ibu sedang menjemput kak Silvi di SMAnya, dan aku yakin pasti sebentar lagi ibu akan mengirim SMS yang isinya aku disuruh pulang naik angkot atau ojek, tapi aku maklum, aku memang sudah terbiasa naik angkot sendiri.
Aku berdiri setelah jus alpukat milikku habis, membuangnya ke tong sampah, dan beranjak pulang, saat aku menunggu angkot, ada SMS masuk, tapi bukan dari ibu, dari ayah, ada apa? Biasanya ayah tidak pernah mengirimiku SMS...
Aku baca perlahan, dan SMS itu sukses membuatku terbelak dan kelimpungan
Adzkia, cepat ke rumah sakit, Ibu kritis, kamu naik taksi saja.
Nanti Ayah yang bayarkan, Ayah mau menjemput kakakmu dulu...
Cepatlah...
Aku mencari taksi, aku sangat panik, masa' di saat seperti ini ayah meninggalkan ibu sendirian di rumah sakit. Satelah dapat aku menyuruh sang supir mengebut.
Di rumah sakit...
Aku mencari kamar nomor 209 tempat ibu dirawat.
Ah, ada ayah dan kak Silvi, muka ayah terlihat sangat pucat, sedangkan kak Silvi sibuk dengan ponselnya, mungkin menghilangkan kecemasan.
"Ayah... Ibu kenapaaa???" tanyaku sambil mendekati ayah, "Ibu... Ibu tadi terjatuh dan tertiban lemari piala milik Silvia saat akan memajang piala milik Silvia yang baru diberikan tadi pagi di sekolah." ucap ayah lemas, aku menatapnya tak percaya, aku menatapnya dengan penuh amarah, Astaghfirullah....
"Ayah... Aku mau bertemu Ibu..." pintaku pelan, "Ayo..." ajak ayah, tapi kak Silvi tidak ikut masuk.
Robbi... Ibu... Banyak selang dan perban di sekujur tubuhnya. Aku menghampirinya, duduk di sampingnya. "Ibu... Ibu kenapa?" aku bergetar, ibu membuka matanya perlahan, aku rasa ibu tersenyum padaku, walaupun tak terlihat jelas karena selang besar yang dimasukkan ke dalam mulutnya.
"Adzki... Dengarkan ibu, ya..." tangan ibu menggenggam tanganku erat, "Mungkin selama ini kamu pikir ibu dan ayah selalu pilih kasih terhadapmu dan kak Silvi..." ucap ibu lemah, mengingat semua itu aku jadi tak bisa berpikir. "Adzki, syukuran itu biayanya tidak sedikit, nak... Jadi Ibu dan Ayah hanya membuat syukuran untuk kakakmu." ucap ibu lagi.
"Ibu sayang Adzki?" ucapku pelan, ibu bangkit lalu memelukku, "Siapa yang tidak sayang dengan anaknya?" aku membalas pelukannya.
"Ibu, aku tidak perlu syukuran, aku tidak perlu hadiah, yang aku butuhkan sekarang adalah Ibu dan Ayah, yang selalu menyayangiku, aku butuh kasih sayang" air mataku mengalir deras, ayah juga mulai menangis, "Kami selalu menyayangimu..." ucap ayah terisak.
Ibu melepaskan pelukannya, menyunggingkan senyumnya, perlahan matanya menguncup, redup, dan terkatup...
Innalillahi wa innailaihi roji'un...
Flash Back Off
Aku tersenyum,
Ibu... sekarang aku telah menjadi penulis terkenal, aku yakin ibu pasti bangga, kak Silvi juga sudah tak manja seperti dulu, usaha ayah semakin merambah pasar internasional, ibu pasti bangga...
"Dek, ayo, kamu sudah istirahat 2 jam, katanya tidak mau mengecewakan pembaca, launching bukunya 2 jam lagi.. Ayo berangkat..." teriak kak Silvi dari bawah, "Iya, kak, sebentar..." aku menaruh pialaku kembali dan menuju ke bawah, ayah sedang mengambil cuti khusus untuk kami berdua, "Sukses, ya, nak!" ayah menyemangatiku, aku berangkat bersama kak Silvi ke Bekasi Squar tempat launching bukuku selanjutnya...
Terima kasih ibu... Do'aku menyertaimu... Ini untuk ibu...
*****
Panas, aku membaringkan tubuhku di tempat tidur rumahku, launching buku tadi membuatku lelah luar biasa. Aku menatap lemari yang penuh dengan piala milikku, tiba-tiba kakiku melangkahkan dirinya ke lemari itu, aku tatapi satu persatu, dan tertuju pada sebuah piala usang, aku mengambilnya membersihkannya dari debu, menatapnya, dan mulai membuka kembali lembaran memoriku...
Flash Back:
Yeah!!! Aku senang sekali hari ini... Akhirnya setelah satu bulan mempersiapkan diri, akhirnya aku bisa mendapatkan juara I lomba menulis cerpen se-kabupaten, dan Insya Allah, 2 bulan lagi, aku akan maju ke tingkat provinsi. Alhamdulillah... Aku sudah tidak sabar ingin memberitahukan hal ini kepada ayah dan ibu di rumah, aku membayangkan mereka berdua pasti tersenyum bangga padaku.
Di rumah...
"Ayah... Ayah... Lihat, Yah, apa yang aku bawa!" ucapku sambil berlari menuju ayahku yang sedang menonton tv di ruang keluarga.
Ayah menengok tanpa ekspresi, namun mukanya terlihat penasaran, lalu aku tunjukkan piala yang aku bawa, dan sebuah piagam penghargaan, "Yah, aku menang lomba menulis cerpen, Ayah pasti senang!" kataku bersemangat, namun ayah hanya memandangku sebentar, lalu melanjutkan aktivitasnya dengan tvnya.
Aku sedikit kecewa terhadap sikap ayah, aku langsung mencari ibu, "Ibu.... Ibu..... Ibu kemana, sih?" Aku berputar-putar keliling rumah, tapi ibu tidak ada, ah, mungkin sedang pergi ke pasar kali...
Kamar
Aku membaringkan tubuhku di tempat tidurku, menatap piala dan piagam penghargaan yang diserahkan dan langsung ditandatangani oleh bapak bupati, tidak berapa lama, aku mendengar suara ibu.
"Silvi mau dibeliin apa sama Ayah dan Ibu?" ternyata ibu sedang bersama kak Silvi
"Silvi mau dibeliin laptop Acer model baru, Bu."
"Oh, ya sudah, nanti Ibu bilang dulu, ya, sama Ayah."
"Pokoknya mau Ayah setuju gak setuju Ibu harus beliin Silvi laptop!" terdengar agak keras suara kak Silvi
Aku langsung berlari menuju ibu, "Bu.... Ibu... Ibu habis dari mana?" tanyaku setelah melihat ibu dan kak Silvi. "Ibu habis dari Bekasi Square, mengantar Silvia lomba melukis, Silvia menang, lho." ucap ibu dengan bangga, lalu dahi ibu mengrenyit, "Apa yang kamu bawa?" tanya ibu melihat piala yang aku bawa, "Aku menang lomba menulis cerpen tingkat kabupaten, bu! 2 bulan lagi aku akan maju ke tingkat provinsi." ucapku bangga sambil menunjukkan pialaku. Namun ibu hanya diam.
"Bu, pialanya aku pajang di lemari depan, ya?" tanyaku, "Tidak usah, di kamar kamu saja, di depan khusus untuk pialanya Silvia." ucap ibu, aku agak kecewa, tapi aku tidak boleh egois, aku menyalami kak Silvi dan mengucapkan selamat padanya, lalu aku kembali ke kamar.
=====
Yah, itulah ibu dan ayah, mereka selalu membanggakan kakakku, kak Silvia, mereka terlalu berlebihan, setiap keinginan kak Silvi selalu saja diberikan, hadiah ulang tahun pun sebuah perayaan besar-besaran di restoran mahal dan sebuah motor Scoopy, sedangkan aku? Ibu tidak akan pernah memberiku ucapan selamat kalau aku tidak mengingatkan, selalu tidak diperhatikan, bahkan tidak pernah menanyakan bagaimana sekolahku!
Hari-hari selalu aku lewati dengan kecemburuan kepada kakakku, dia memang cantik, matanya indah, rambutnya panjang lurus, tapi sepertinya bukan karena itu ayah dan ibu memperlakukannya lebih.
Astaghfirullah... Ya Allah... sabar... sabar... Mungkin kak Silvi belum mampu.
=====
Aku duduk di bangku panjang depan sekolah sambil meminum jus alpukat yang aku beli di kantin sekolah hari ini, panas sekali, aku yakin pasti ibu sedang menjemput kak Silvi di SMAnya, dan aku yakin pasti sebentar lagi ibu akan mengirim SMS yang isinya aku disuruh pulang naik angkot atau ojek, tapi aku maklum, aku memang sudah terbiasa naik angkot sendiri.
Aku berdiri setelah jus alpukat milikku habis, membuangnya ke tong sampah, dan beranjak pulang, saat aku menunggu angkot, ada SMS masuk, tapi bukan dari ibu, dari ayah, ada apa? Biasanya ayah tidak pernah mengirimiku SMS...
Aku baca perlahan, dan SMS itu sukses membuatku terbelak dan kelimpungan
Adzkia, cepat ke rumah sakit, Ibu kritis, kamu naik taksi saja.
Nanti Ayah yang bayarkan, Ayah mau menjemput kakakmu dulu...
Cepatlah...
Aku mencari taksi, aku sangat panik, masa' di saat seperti ini ayah meninggalkan ibu sendirian di rumah sakit. Satelah dapat aku menyuruh sang supir mengebut.
Di rumah sakit...
Aku mencari kamar nomor 209 tempat ibu dirawat.
Ah, ada ayah dan kak Silvi, muka ayah terlihat sangat pucat, sedangkan kak Silvi sibuk dengan ponselnya, mungkin menghilangkan kecemasan.
"Ayah... Ibu kenapaaa???" tanyaku sambil mendekati ayah, "Ibu... Ibu tadi terjatuh dan tertiban lemari piala milik Silvia saat akan memajang piala milik Silvia yang baru diberikan tadi pagi di sekolah." ucap ayah lemas, aku menatapnya tak percaya, aku menatapnya dengan penuh amarah, Astaghfirullah....
"Ayah... Aku mau bertemu Ibu..." pintaku pelan, "Ayo..." ajak ayah, tapi kak Silvi tidak ikut masuk.
Robbi... Ibu... Banyak selang dan perban di sekujur tubuhnya. Aku menghampirinya, duduk di sampingnya. "Ibu... Ibu kenapa?" aku bergetar, ibu membuka matanya perlahan, aku rasa ibu tersenyum padaku, walaupun tak terlihat jelas karena selang besar yang dimasukkan ke dalam mulutnya.
"Adzki... Dengarkan ibu, ya..." tangan ibu menggenggam tanganku erat, "Mungkin selama ini kamu pikir ibu dan ayah selalu pilih kasih terhadapmu dan kak Silvi..." ucap ibu lemah, mengingat semua itu aku jadi tak bisa berpikir. "Adzki, syukuran itu biayanya tidak sedikit, nak... Jadi Ibu dan Ayah hanya membuat syukuran untuk kakakmu." ucap ibu lagi.
"Ibu sayang Adzki?" ucapku pelan, ibu bangkit lalu memelukku, "Siapa yang tidak sayang dengan anaknya?" aku membalas pelukannya.
"Ibu, aku tidak perlu syukuran, aku tidak perlu hadiah, yang aku butuhkan sekarang adalah Ibu dan Ayah, yang selalu menyayangiku, aku butuh kasih sayang" air mataku mengalir deras, ayah juga mulai menangis, "Kami selalu menyayangimu..." ucap ayah terisak.
Ibu melepaskan pelukannya, menyunggingkan senyumnya, perlahan matanya menguncup, redup, dan terkatup...
Innalillahi wa innailaihi roji'un...
Flash Back Off
Aku tersenyum,
Ibu... sekarang aku telah menjadi penulis terkenal, aku yakin ibu pasti bangga, kak Silvi juga sudah tak manja seperti dulu, usaha ayah semakin merambah pasar internasional, ibu pasti bangga...
"Dek, ayo, kamu sudah istirahat 2 jam, katanya tidak mau mengecewakan pembaca, launching bukunya 2 jam lagi.. Ayo berangkat..." teriak kak Silvi dari bawah, "Iya, kak, sebentar..." aku menaruh pialaku kembali dan menuju ke bawah, ayah sedang mengambil cuti khusus untuk kami berdua, "Sukses, ya, nak!" ayah menyemangatiku, aku berangkat bersama kak Silvi ke Bekasi Squar tempat launching bukuku selanjutnya...
Terima kasih ibu... Do'aku menyertaimu... Ini untuk ibu...
kisah ttg perjuangan ibu selalu mengharukan.
BalasHapus