Langsung ke konten utama

Kereta

Kereta itu penuh sesak dengan orang-orang. Gambir-Majapahit. Musim panas yang mulai menyengat sejak sebulan lalu membuat asap terlihat mengepul dari besi baja itu, seperti gambar adegan film yang diambil di tengah padang pasir yang panas.

Orang-orang berdiri dan duduk dengan berbagai pose, setiap lima detik sekali menarik napas lewat mulutnya, lalu menutupnya kembali dengan kain tipis basah yang melekat di tubuhnya. Ayam-ayam bawaan penumpang itu berkokok-kokok keras membuat dahi orang yang berdiri di sebelahnya mengrenyit dan mendelik sebal.

“Hei, kenapa tidak pindah saja ke gerbong dua belas? Sudah panas bawa binatang pula, mau mengadu ayam, ya, kau?” lelaki berbadan gemuk besar itu mencondongkan badannya ke arah Yasin, pemilik ayam-ayam jantan itu. “Kita sudah empat puluh tahun merdeka, hak kita semua sama, Tuan. Emansipasi bukan hanya untuk wanita saja.”


Tapi mata lelaki seperti preman itu malah tambah besar padahal sudah besar seperti mata koala, dan dia menggeram. Yasin tidak menghiraukannya, kereta berhenti di stasiun Medan Merdeka, membuat besi baja tua itu seperti manusia yang sedang menengok ke belakang dan saat melihat ke depan dia menabrak manusia lain dan mundur selangkah. Ayam-ayam Yasin yang jumlahnya ada tiga ekor langsung terkaget dan memekik keras, Yasin juga.

Dia mengangkat tangannya yang satu ke atas untuk berpegangan, membiarkan lelaki besar di sampingnya merasakan wangi semerbak ketiaknya, matanya merah sekarang.

Lantai kereta ini kasar, tidak licin, tapi basah. Berliter air keringat bercucuran, baju mereka yang tipis makin tidak kasat, ada yang masuk dengan baju bersih putih, keluar dengan baju yang kehitaman basah keringat bercampur kotoran di tubuhnya. Semua bercucuran keringat saat itu, bahkan binatang sekalipun.

Kondektur keluar dari kepala kereta, tak kalah berkeringat dengan penumpang lain, beberapa orang berbondong memasuki gerbong dua, “Ayo, yang turun dahulu, yang turun dahulu.” Petugas stasiun memberi aba-aba dari bawah sambil tangannya membentang satu depa menghalangi penumpang dari stasiun yang tergesa masuk ke gerbong tiga.

Mereka masuk ke gerbong tiga dan gerbong-gerbong lainnya, membawa anak, membawa karung putih besar yang dipanggul di punggungnya, membawa rambutan, menambah berbagai macam bau-bauan.

“Karcisnya, karcisnya. Karcis, Tuan, Nyonya.” Kondektur itu melempar uang-uang logam ke atas dan menangkapnya lagi sambil meminta karcis pada penumpang dengan masker tebal menutupi hidung dan mulutnya. Barangkali dia tidak ingin ikut campur dengan bau-bauan dari gerbong tiga itu.
*****
Lima orang berdiri di antara gerbong tiga dan gerbong empat, satu orang menyender di samping pintu dan terus menggerak-gerakkan mulutnya ke kiri dan ke kanan, tiga lain bersender di ujung kereta sambil menghirup batang tembakau panjang, satunya memejamkan mata sambil melipat tangan tapi tidak bersender ke gerbong.

“Karcis, karcis.” Kondektur mulai menodongkan tangannya pada lima pria di antara gerbong-gerbong itu. Lelaki yang tadi menggerak-gerakkan mulutnya mengeluarkan sepuluh ribu rupiah, diikuti empat yang lain.

Kondektur itu melotot, dengan sinar mata tak tergambarkan. “Anak muda sekarang harus berusaha, jangan cuma mau dapat fasilitas tapi tidak ada keringat.” Kondektur itu berkata keras.

Sejurus kemudia dengan sigap diambilnya lima lembar uang sepuluh ribuan dari tangan lima lelaki tegak itu. Lalu berlalu ke gerbong empat sambil berkata, “Lain kali beli karcis, ya.”

*****

“Munafik.”

Kadir, lelaki paruh baya berbaju batik kusam merk sostro 1135 keluaran tahun 1980an menggeleng sambil membolak balikkan buku yang ia pegang. Kacamatanya yang turun sampai batang hidung dia naikkan lagi.

Ia sedang mempertimbangkan apakah dia akan membaca buku itu lagi apa tidak ketika lelaki muda berbaju kemeja hitam duduk di sampingnya saat penumpang yang tadi di sampingnya turun, bertanya padanya, “Yang mana, Tuan? Yang munafik?”

Kadir mengerutkan keningnya, lalu kepalanya membelok ke arah tatapan lelaki muda tadi, oh...

“Semuanya, semuanya munafik.”

“Kenapa semuanya?” lelaki muda itu bertanya dengan halus pada Kadir, dahi Kadir malah semakin mengerut.

“Anda wartawan berita?”

Lalu lelaki itu tertawa keras dan sopan, percuma saja mau sekeras apapun, semua maklum, suara ayam-ayam Yasin jauh lebih keras dari pada suara pemuda itu, ditambah obrolan, makian, dan keluhan penumpang gerbong tiga.

“Perkenalkan, Tuan. Saya Dahlan, penumpang gerbong tiga.” Dia masih tertawa, tapi sudah jauh lebih kecil dari sebelumnya.

“Bisa saja anda seorang penipu. Empat puluh lima tahun kita merdeka tapi tahun sembilan puluhan ini makin banyak saja perkataan yang hanya bohong belaka.” Kadir berbicara tanpa menatap Dahlan.

“Saya tidak mengerti kenapa Tuan mencurigai saya berdusta. Dan saya tidak mengerti apa tuan ingin menguji saya atau Tuan memang tidak tahu bahwa kita bangsa Indonesia baru empat puluh tahun merdeka.” Dahlan menjawabnya dengan senyum, membuat muka Kadir memerah.

*****

Wanita dengan perut buncit itu basah peluh keringat, sambil sering kali mengelus perutnya sempat-sempatnya ia memanggul karung berat. Dibawanya dari Cilacap bermodalkan lima puluh ribu rupiah untuk biayanya melahirkan ke Gambir dan rencananya akan mampir ke rumah empunya di Majapahit. Bulan ini dia merdeka, pikirnya.

“Majapahit, Nyonya?”

Seorang pemuda berpakaian militer yang kebesaran, wajahnya lusuh tadi berdesakan, mukanya menghantam dinding besi.

Wanita itu hanya mengangguk. Mengusap peluhnya sendiri mendekatkan diri ke jendela.

“Saya dari anggota Dewan Keamanan Rakyat. Saya lihat anda kelaparan dan kelelahan. Biar saya bantu membawakan karungnya?” pemuda itu santun.

Wanita itu melihat pemuda itu dengan tatapan menimbang-nimbang. Dan dia terlalu lelah berpikir. Langsung saja karung itu dilepaskannya dan dengan sigap sang pemuda menahan karungnya.

Lantas pemuda itu memberikan selembar uang kertas emas dan hijau pada wanita kelelahan ini. “Pakailah, beli makan siangmu, Nyonya. Anda bisa mengambil karung anda di gerbong dua belas saat sampai di Majapahit nanti.”

Mata wanita itu seketika berbinar dan terlonjak senang, sang pemuda membawa karung terseok ke luar gerbong tiga. Dengan semangat wanita itu pergi ke ujung gerbong membeli sebungkus nasi kuning dan tiga iris pisang tepung, berjongkok di pinggir gerbong menikmati angin dan makan dengan rakus.

Sisa lembaran ini bisa untuk pulang ke Cilacap dan dibelikan kain satin untuk mamak.

*****

Medan Merdeka Timur. Besi baja itu tertegun lagi dan membuat penumpang mengelus dada lagi. Ada apa?

“Hoi, kondektur! Ada apa berhenti? Sudah pengap disini bukannya jalan malah berhenti mendadak!” Pria paruh baya berbadan kekar yang berdiri di depan wanita yang sedang makan nasi kuning dengan rakus berteriak, diiringi sorakan penumpang lain.

“Ada yang jatuh.” Jawab seorang pemuda kurus berkaos putih yang hampir transparan karena basah keringat.

“Tersandung penumpang lain barangkali.” Jawab pria lain acuh.

“Halah! Kalau sudah dipinggirkan itu mayat cepat jalan lagi, tak tau pengap disini, ya?” pemuda lain menyahut kesal. Diikuti umpatan penumpang lainnya.

Petugas mendata anak kecil berpakaian lusuh bercampur darah, gelandangan, memindahkannya jauh dari kereta, dan kereta itu berjalan lagi membuat sedikit aliran angin, membuat paru-paru manusia di kereta bisa sedikit terisi oksigen.

*****

“Bahkan zaman sekarang ini manusia tidak peduli dengan manusia lain padahal mereka sama-sama manusia.” Kadir menaikkan kacamatanya yang turun sambil tetap membaca.

“Tuan sendiri kelihatan tidak peduli.” Jawab pemuda yang tadi tiba-tiba bertanya tentang kemunafikan padanya.

“Saya hanya peduli kepada orang yang peduli dengan sesamanya.” Bukunya dibolak-balik memperhatikan tiap detailnya.

“Kenapa tidak Tuan mulai sendiri? Jikalau semua orang di dunia ini tidak peduli dengan apa yang Tuan katakan sesamanya, apa Tuan akan berdiam diri? Bukankah itu berarti Tuan sama saja dengan orang yang acuh itu?”

Tenang, wajahnya yang menyenangkan, setiap kata diiringi senyuman. Dia benar.

*****

Majapahit. Hampir semua makhluk di dalam kereta berbondong-bondong turun, berdesakkan, ayam-ayam Yasin berkokok, kepanasan. Orang-orang berbaju bersih naik, turunlah orang-orang berbaju lusuh, bau. Semuanya berdesakan.

Yasin akhirnya keluar dari gerbong tiga, bersama ayam-ayamnya, menghela napas, masih ada satu lagi kereta, ke Kota Tua. Yasin membayangkan akan seperti apa dirinya saat keluar nanti dari kereta ke Kota Tua sambil masuk ke gerbong tiga kereta lain.

“Sudah, sudah. Tidak perlu dibantu. Saya ini masih kuat.” Ujar Kadir saat Dahlan mencoba menuntunnya turun dari gerbong tiga.

“Sebagai penumpang yang baik, saya harus memperlakukan teman seperjalanan dengan baik.” Jawabnya diakhiri dengan tawa sopan kecil khasnya.

“Yo wis, yo wis, sebaiknya anda pulang saja. Saya ingin melanjutkan perjalanan.” Ucap Kadir sambil mengibas-kibaskan tangannya mengusir Dahlan pergi. Dan mengecek buku yang ia pegang, lusuh apa tidak.
Saat kepalanya mendongak, Dahlan sudah ditelan kepala-kepala lain, tubuh-tubuh lain yang berlalu lalang. “Pinter tapi sembrono.”

*****

Seorang lelaki gagah mendekati seorang wanita buncit yang berjongkok di pinggri peron, menangis tersedu. “Nyonya kenapa menangis?”

“Karungku, karungku diambil DKR, hu...hu...”

“DKR? Tidak ada DKR di sini, Nyonya.” Jawab pria itu yang membuat tangis wanita yang perutnya tengah isi itu makin keras.

Manusia-manusia berlalu lalang mengerutkan dahinya sambil berlalu. Pria itu meninggalkan wanita itu di tengah keramaian bingung berbuat apa.

*****

“Apa yang kau dapat hari ini tuan DKR? Buahahaha...” seorang pria paruh baya duduk di depan warung seberang rel kereta api bertanya pada seorang pemuda berpakaian militer yang kebesaran.

“Ini. Aku bawa ini. Berat. Isinya pasti mahal.” Jawab pemuda itu tertawa juga.

“Berapa yang kau kasih pada orang itu?” tanyanya sambil membuka karung coklat lusuh.

“Hanya satu lembar seratus ribu dan―”

“SEMPRUL! Hanya kau bilang? HANYA?! HAH?!!” pria itu menempeleng kepala pemuda itu, secara dramatis jatuh ke tanah.

“Apalah gunanya aku menunggu seharian di tengah terik seperti ini?! Hanya untuk mendapat buku-buku bodoh ini?” teriaknya sambil melempar isinya ke mana-mana.

Pemuda itu menganga, “Mungkin... mungkin itu mahal. Lihatlah, tuan... buku setebal dan sebesar ini, jumlahnya banyak pasti mahal!”

“Masalahnya siapa di zaman ini yang mau beli, bodoh??!!! Pulang! Pulang, kau! Bawa buku itu! Kalau perlu kembalikan!”

Minggu, 3 Februari 2013
Rizki Amalia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Seleksi CPNS 2021 – SKD Part 2: Hari-H

Sebelumnya: SKD Part 1 πŸ‘ˆ Akhirnya lanjut lagi setelah setahun πŸ˜‚πŸ™πŸ» 8 Oktober 2023. Dresscode peserta ujian adalah kemeja putih dan rok/celana hitam dengan kerudung hitam untuk yang memakai kerudung, sepatu pantofel tertutup berwarna gelap. Saya cuma punya rok dan kerudung saja. Sepatu pantofel dipinjamkan oleh sepupu yang anak Paskibra, kemeja baju putih dipinjamkan sepupu laki-laki. Karena Covid-19, persyaratan jadi lumayan ribet. Peserta diharuskan memakai masker 3 ply + masker kain yang waktu saya coba ya Allah gak bisa bernapas rasanya. Lalu harus juga membawa tes PCR atau Antigen. Saya tentunya memilih opsi paling murah. Karena saya dapat sesi jam 3 sore, paginya saya bisa tes Antigen dengan tenang. Saya berangkat bersama ibu saya jam 7 pagi, tes Antigen, lalu naik kereta turun di Stasiun Duren Kalibata (sekarang udah tahu stasiun kereta yang lebih dekat πŸ₯²), naik angkot, lalu jalan santai ke gedung tempat pelaksanaan tes. Waktu kami tiba, baru jam 11an. Sepanjang jalan

Pengalaman Seleksi CPNS 2021 – SKD Part 1

Sebelumnya: Seleksi Administrasi  πŸ‘ˆ Sejak pengumuman lolos kelengkapan administrasi, pengumuman informasi tes pertama, Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) diunggah di akhir Agustus 2021 di website instansi masing-masing. Membaca pengumuman ini adalah part ribet-ribetnya karena banyak yang harus dicermati, seperti berkas yang harus dibawa, lokasi dan waktu tes, dan persyaratan sebelum ujian. Harus baca berkali-kali karena takut ada yang terlewat πŸ˜‚ Saya mendapat jadwal ujian di tanggal 8 Oktober 2021 sesi ke II di hari Jumat. Lokasinya di salah satu gedung TNI AD di Cijantung. Waktu baca dapat sesi ke II langsung bersyukur karena artinya tidak harus jadi pejuang subuh dari rumah ke Jakarta wkwk. Persyaratan Ikut Ujian Karena sedang pandemi, prosesnya kata orang-orang yang sudah pernah ikut seleksi sebelumnya, lebih panjang dan ribet.   Saya harus vaksin pertama kalau mau lolos masuk tesnya. Saya mendaftar vaksin 3 minggu setelah negatif Covid, saat sudah sampai sana, ternyata dilarang

Pengalaman Seleksi CPNS 2021 – Seleksi Administrasi

Lulus Februari 2021, saya langsung tancap keyboard , melamar ke berbagai perusahaan lewat platform jobseeker online , bersaing dengan 3000 lebih pelamar di setiap perusahaannya. Kalau dihitung lebih dari 100 perusahaan yang saya lamar, menyesuaikan CV berkali-kali, tapi nihi l. Bisa dihitung jari yang masuk tahap wawancara . Orang tua memang sudah dari awal saya lulus berharap untuk saya ikut seleksi PNS karena kasihan melihat saya yang dari SD selalu berkegiatan penuh seharian, saat itu leyeh-leyeh di rumah berbulan-bulanπŸ˜‚ Akhirnya, sambil tetap melamar pekerjaan ke berbagai perusahaan, saya berbakti pada orang tua dengan ikut mendaftar seleksi CPNS. Perlu diketahui bahwa proses seleksi CPNS ini dari pengumuman satu ke pengumuman lainnya sangat panjang jedanya, bisa hampir 1 bulan tanpa kepastian. Setiap hari ibu saya menanyakan apa pendaftaran sudah dibuka, setelah pendaftaran, ibu saya menanyakan setiap hari kapan pengumuman seleksi administrasi, lalu setelah lolos ibu saya a