Gerimis
sudah berhenti sejak sore. Satu per satu lampu-lampu hias mulai bersinar
seperti pasukan perang yang mengangkat pedangnya memantulkan sinar rembulan.
Silau. Beberapa orang pedagang mulai membuka lapak diikuti banyak yang lain. Alas
plastik digelar di atas jalanan becek, ditumpuk dengan berbagai sandang pangan
perhiasan atau sekedar koran. Generator-generator mulai ditarik, asap kada
ng
mengepul dari mesin-mesin usang berkarat itu. Tanah parkiran mulai dibentuk
roda-roda ketertarikan manusia. Bersama keluarga, bersama teman, berharap kesenangan
hanya untuk semalam.
Pasar
malam resmi dibuka.
Para
tuan memilih duduk di lapak koran bekas, atau sepatu necis. Para nyonya melirik
baju murah meriah, berharap sang tuan bertindak peka. Para orang tua mengawasi
anak-anaknya, berlari-lari sambil tertawa riang, mencoba tiap wahana sambil
berlompatan.
Dia
berdiri mematung di depan komedi putar yang sedang membawa anak-anak yang duduk
di komedi putar sambil menggoyang-goyangkan kepala ke kanan dan ke kiri.
Bahagia. Pasti.
“Ini
malam ke empat belas.” aku memberanikan diri menghampirinya, tangannya
bersedekap, matanya memandang lurus ke depan, tatapan yang sama. Ia tersenyum
kecil mendengarku, dengan tatapan mata yang sama.
“Mau
berapa kali lagi kamu menghitung?” dia bertanya, pertanyaan yang tidak
mengharap jawaban.
“Sampai
kamu berhenti berdiri dan setidaknya naik.” kataku sambil menatap lurus kepada
komedi putar itu juga.
“Kamu
tahu kenapa namanya komedi putar?” pertanyaan yang membuatku menengok spontan.
“Lihat
mereka.” matanya menunjuk anak-anak yang baru saja turun dari komedi putar,
berlari lincah.
“Mereka
tertawa, bahkan tanpa komik. Mereka berlari memeluk ayah ibu mereka, bahkan tanpa
dinasihati. Mereka minta kembali naik lagi, bahkan lagi tanpa dibujuk.” dia
berkata pelan, wajahnya kembali datar, matanya kembali sayu, mata penuh
penyesalan, bukan, pengharapan.
Kami
berdua diam lagi. Hal yang biasa untuknya diam berjam-jam di depan komedi
putar. Pemilik komedi putar pun memaklumi diamnya.
Wuinggg.................
tiga menit, sudah beberapa kali suara motor gede modifikasi dari tong setan
terdengar ke arah kami. Angin bertiup berlawanan arah dengan tempat kami
berdiri.
“Kalau
begitu kamu naik, sana. Mungkin setelah turun kamu bisa tertawa.” ucapku
membuat wajah polos menatapnya.
“Di antara
sudah terlambat, atau belum saatnya.”
Yang
kuingat terakhir kali adalah senyumnya, lalu dia menghilang di dalam kerumunan
manusia wisatawan pasar. Dan lampu-lampu hias itu berhenti berkelip dan mati,
bagai pasukan yang kehabisan pedang di medan perang.
Bekasi, 2 Agustus 2013
Komentar
Posting Komentar