Purnama.
Ayah biasanya akan selalu duduk di teras sambil meneguk segelas bajigur hangat
saat purnama datang. Pintu rumah selalu dibukanya, tak peduli berapa banyak
binatang kecil seperti nyamuk yang berlalu lalang keluar masuk, biasanya aku
yang jadi korban.
Ayah
sangat suka purnama, ayah akan lebih suka jika hujan gerimis saat purnama.
Namaku pun menyandang ‘Purnama’ di bagian belakang, padahal aku lahir seminggu setelah
bulan purnama –kata ayah. Ayah akan duduk di kursi yang bukan kursi goyang
semalaman, biasanya sampai jam 2 di pagi hari, menatapi purnama, dengan mata
berkaca.
Sudah
rutinitasku setiap purnama, mengganti gelas bajigur ayah saat habis, bisa
sampai tiga gelas bajigur habis diteguknya. Kadang kalau aku pulang kerja
terlalu larut aku melihat ayah dengan posisinya seperti biasa –duduk sambil
tersenyum dan menerawang menatap purnama– dengan gelas bajigur kosong di atas meja
di samping tempat ia duduk.
Ayah
tidak pernah minta dibuatkan lagi, tapi sebagai anak laki-laki yang berbakti
aku akan senantiasa berjalan dari kamar ke teras beberapa menit sekali
memastikan bajigurnya masih penuh atau kosong, sebenarnya memastikan apa ayah
baik-baik saja, atau apa yang ayah pikirkan.
Tidak
malam ini. Aku tidak pulang terlalu larut, aku tidak mengerjakan tugas kantor
di rumah, aku tidak tidur, dari jam 9 malam tadi aku menunggui ayah, duduk di
samping meja teras, ayah di sisi lain dengan posisi seperti biasa duduk melihat
purnama dengan tatapan yang sama. Sudah dua jam aku duduk menemani ayah, dua
jam kuisi dengan membuka jejaring sosial dari tablet yang kubeli dari hasil
gaji ke-100ku yang kuterima bulan lalu, saat purnama.
“Tidur,
Yah. Mendung. Purnamanya gak akan keliatan bulan ini.” aku ajak ayah tidur,
sejak tadi purnama tidak terlihat lagi tertutup awan, geluduk bersautan, pasti
akan turun hujan.
“Ndak,
ndak. Keajaibannya sebentar lagi, Le.” kata ayah sambil tersenyum, aku
mengrenyit beberapa saat, lalu mengalihkan pandanganku ke gelas bajigur milik
ayah, sudah kosong, punyaku masih terisi tiga perempat gelas. Aku bangkit
membawa gelas bajigur ayah untuk mengisinya kembali di dapur.
Bressssssssss.........
Yap,
selamat. Hujan. Ini bukan gerimis, tidak terlalu deras juga. Hari ini ayah
tidak boleh menunggui purnama sampai subuh. Jadi aku bawa gelas besar bajigur
ini ke teras sambil menyiapkan diri meminta ayah untuk tidur ‘agak sore’ yang
biasanya tidak ditanggapinya.
Dan
kali ini ayah membuatku terkejut sekaligus panik, dia sedang berjalan, ke
halaman rumah, tidak beralas kaki, di tengah hujan.
“AYAAHHHH!!!”
aku berlari ke dalam mengambil payung batik milik almarhumah ibu dulu dan
berlari terbirit-birit ke halaman depan.
“Ayah
ngapain, sih? Nanti sakit lagi kalau hujan-hujanan. Kalau ngeyel terus lama-lama
Mas bakal maksa ayah gak usah liat purnama dan bulan-bulan lainnya lagi.” aku
berkata dengan nada ketus sambil berdumel, setengah karena takut ayah sakit,
setengah karena kesal baru dua jam yang lalu mandi setelah seharian tidak
mandi, dan sekarang basah lagi karena susah memayungi ayah.
Lalu
ayah memegang pundakku, yang membuatku berhenti berceloteh. Ia tersenyum,
padaku. Senyum yang selama ini selalu diberikannya untukku, senyum purnama.
“Dulu,
saat kami tahu kamu akan hadir di dunia ini, Ibumu, Le, menarik tangan Ayah ke
tempat ini,” dia menunjuk tempatku berdiri, “Lalu Ibumu mengajak ayah menari,
dengan musik alam, di bawah bulan purnama. Kami menari sampai larut malam. Ibumu
bercanda, mungkin kalau kami melakukannya setiap purnama, kamu, akan terlahir
bagaikan purnama, kamu akan ditunggu-tunggu seperti purnama, kamu akan
diabadikan seperti purnama, kamu akan bersinar seperti purnama.”
Aku
memainkan kakiku di tanah basah, sambil tetap memegangi payung untuk ayah,
dahiku mengerut tanpa sadar.
“Setiap
purnama kami selalu menari, menari, menari lagi di sini. Lalu, purnama dua
puluh tiga tahun yang lalu, seminggu sebelum kamu terlahir di dunia ini,
gerimis turun. Ayah melarang Ibumu turun. Tapi Ibumu memaksa, katanya
pemandangan purnama akan terlihat lebih indah saat gerimis,”
“dan,
coba, coba tutup payungmu, Le. Tutup payungmu.” aku menutup payung ini sambil
ayah membantuku menutupnya. “Nah, sekarang coba lihat, lihat purnamanya, Le.”
Aku mengikuti perintah ayah.
Oh,
purnama. Bulannya bersinar sangat terang, kurasakan tetes-tetes gerimis jatuh
di dahiku, ah, dingin, segar rasanya.
“Ibumu
benar, Le. Dia selalu benar. Dan melihat purnama, bulan atau kamu, adalah
bentuk syukur Ayah dan apresiasi Ayah untuk Ibu, yang telah membuat kamu
sebagai purnama terlihat lebih indah di mata Ayah, di mata Ibumu, di mata semua
orang yang menatap bangga padamu.”
Komentar
Posting Komentar