Pantai ini
cukup terkenal. Terkenal karena... apa, yah? Pasir? Pasir abu-abu biasa yang
menjadi hitam ketika terkena air garam. Air laut? Seperti air laut kebanyakan,
asin, berbusa, bergaram. Atraksi? Tidak ada atraksi khusus, setiap orang
beratraksi sendiri. Pedagang? Pedagang biasa, berjualan mie instan, sate,
layang-layang, kincir angin. Ombaknya? Ku beri tahu, bukan ombak yang bagus
dipakai berselancar. Murni kesenangan pribadi.
Di ombak
ini, lah poinnya (bagiku). Ombaknya tidak mau menyentuhku. Setiap kali aku maju
selangkah demi selangkah menjauhi pantai, deburan ombaknya tidak pernah sampai
ke kakiku, paling dekat ujung jempol kakiku.
Aku biasa
berdiri berjam-jam di pantai ini. Saat wisatawan mengejar ombak, merasakan
sensasi terkena ujung ombak, aku diam berdiri menunggu ombak menghampiriku.
Anak-anak
dan remaja membuat lubang pasir, mencari undur-undur (binatang laut yang suka
menggali pasir), bercanda, berenang di laut yang sebenarnya dilarang (tidak
terlalu) keras, berenang di pemandian di bukit pantai (biasanya setelah
berenang di laut), makan sate dan ketupat khas pantai. Aku masih berdiri
menunggu ombak menyapu lapak-lapak pedagang layangan di tepi pantai.
Aku mundur
beberapa langkah, beberapa orang mengambil posisiku secara tidak sadar,
memaksaku mundur, lalu kuamati deru ombak yang cukup besar sampai membuat
mereka tertawa panik karena sandalnya terbawa ke tengah laut, yang satu
mengejar. Lagi-lagi ujung jempolku menyentuh busa sisa dari deru ombaknya.
Wussssssshhhhhhhh.......
Topiku
terbang. Angin hari ini kencang, membuatku berpikir seharusnya ombak berpihak
padaku. Aku berbalik, berjalan perlahan kepada kerumunan pedagang nasi pecel
dan pembelinya di utara pantai, lumayan jauh dari tempat aku berdiri tadi, yang
saat kutengok sudah diduduki satu keluarga besar dengan badan yang lumayan
besar pula.
Untung
tidak jatuh di kubangan air. Aku sedang memakai topiku saat semua orang
berseru, berteriak, tertawa keras. Oh, ombaknya sampai di tempat para pedagang
menancapkan tendanya, beberapa langkah dari posisiku sekarang. Tuh, kan. Ombak
memang tak berpihak padaku.
“Adeeek!
Pulang! Udah siang!” kakak sudah memanggil, oh, sudah siang. Aku tidak sadar,
terlalu konsentrasi memperhatikan ombak. Aku berjalan naik ke bukit pantai
tempat kakak berdiri memanggil, tangan satunya memegang plastik sate, dia
memang penggemar sate.
Kami
berjalan menuruni bukit pantai (ke arah utara) ke tempat ayah dan mama menunggu
di angkutan pantai.
“Nah,
sebentar lagi pasti sembuh! Lusa kamu bisa balik ke Bekasi, deh.” kakak
mengguncang-guncangkan bahuku sambil tertawa.
Lusa?
Berarti hanya tinggal sehari lagi supaya ombak bisa berpihak padaku.
Komentar
Posting Komentar