Langsung ke konten utama

Seperti Panda di China

"Mer, tahu gak?"

Aku--yang sedang sibuk mengupas kulit kentang di hari yang panas, menggeleng.

"Panda di China, sebelum dilepas ke alam bebas, mereka dites kesehatan dulu."

"Lalu?"

"Biar pas dilepas sehat bener. Terus, dilatih dengan berbagai macam skill alam liar, biar gak cepet kalah sama serangan panda-panda yang duluan liar buat berebut wilayah tinggal, biar bisa cari makan sendiri. Biar gak manja kayak video-video panda yang sering viral itu."

Itu sih aku yang suka lihat video panda-panda lucu di Youtube. "Ha-ha. Ada lagi?"

"Dipasang tracker, setiap gerakannya, ke mana dia pergi, apa yang dia makan, semuanya dimonitor. Dipastikan makanannya bebas dari bibit penyakit, walaupun di alam liar. Dipastikan wilayah tinggalnya mendukung buat dia bertahan di alam liar."

Aku melempar satu kentang yang sudah bersih ke dalam ember rendaman, "Ini arahnya ke mana, Jun? Cita-citamu kerja sama panda itu?"


"Kita manusia, kayak panda, Mer."



"Kok bisa?"



"Kita itu lahir gak berdaya, sama kayak panda. Lalu dirawat orang tua, atau siapa saja lah yang mau merawat. Panda China dirawat manusia.

Tumbuh besar kita diiringi nasehat-nasehat, pelajaran-pelajaran, apa yang boleh dan gak boleh, dikasih bekal buat masa depan.

Panda di China pun sama, dilepas di alam liar, gak tahu ada apa di depan, padahal ada manusia yang mengawasi."



Dia melempar satu buah kentang bersih ke ember sembari memberi jeda.



"Kita tuh sama aja kayak panda, Mer. Sama-sama diawasi. Kita diawasi sama Allah."



Aku berhenti mengupas.



"Kita yang lahir gak tau apa-apa, sampai sekarang hidup di perantauan, bisa punya skill ngupas kulit kentang pula. Siapa bilang kita dibiarkan luntang lantung jalan di bumi tanpa ada yang mengawasi?

Siapa bilang kita dilepaskan ke perantauan tanpa ada yang peduli?

Siapa bilang kita bergerak ke sana kemari tanpa ada yang memperhatikan, memastikan apa yang kita makan, tempat yang kita kunjungi, orang-orang yang kita datangi, aman dan baik buat kita?

Bahkan Allah tahu perasaan kita saat merasa ditelantarkan, walaupun perasaan itu tersembunyi dan sekecil atom pun. Allah tahu. Allah tetap mengawasi. Allah mempersiapkan yang terbaik dari usaha-usaha kita."



Kentang yang baru saja dicuci kini basah lagi dengan air mataku.



"Terus apa Mer, yang kita khawatirkan untuk berjalan di dunia yang penuh rintangan ini saat kita terus diawasi? Bukannya harusnya kita khawatir saat hidup kita datar-datar saja, tenang-tenang saja?

Aku takut itu artinya Allah mengabaikan kita."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dan Beriman: Refleksi dari Sebuah Pilihan

"Kalau tentang pemikiran-pemikiran bunuh diri dan destruktif bagaimana?" "Hmm... Kalau itu sebenernya saya bisa mengendalikan sendiri. Pikiran-pikiran bunuh diri itu memang selau terlintas setiap hari, tapi saya tahu saya gak akan melakukannya karena memang saya tidak berniat untuk itu, hanya sekadar pemikiran yang biasa lewat." Lalu pembahasan kami beralih ke pikiran negatifku yang lain. Yang sangat banyak. Tapi saat itu aku sadar, kalau sebenarnya aku capable untuk memilih . Ternyata aku bisa dengan sadar memilah hal-hal yang menjagaku tetap dalam koridor yang tepat, dalam kasusku, menahan diri untuk tidak mati. Jumat lalu kebetulan baca arti Al-Kahfi, di ayat 29 ada potongan, "...Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir. Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta...

Pengalaman Seleksi CPNS 2021 – SKD Part 2: Hari-H

Sebelumnya: SKD Part 1 👈 Akhirnya lanjut lagi setelah setahun 😂🙏🏻 8 Oktober 2021. Dresscode peserta ujian adalah kemeja putih dan rok/celana hitam dengan kerudung hitam untuk yang memakai kerudung, sepatu pantofel tertutup berwarna gelap. Saya cuma punya rok dan kerudung saja. Sepatu pantofel dipinjamkan oleh sepupu yang anak Paskibra, kemeja baju putih dipinjamkan sepupu laki-laki. Karena Covid-19, persyaratan jadi lumayan ribet. Peserta diharuskan memakai masker 3 ply + masker kain yang waktu saya coba ya Allah gak bisa bernapas rasanya. Lalu harus juga membawa tes PCR atau Antigen. Saya tentunya memilih opsi paling murah. Karena saya dapat sesi jam 3 sore, paginya saya bisa tes Antigen dengan tenang. Saya berangkat bersama ibu saya jam 7 pagi, tes Antigen, lalu naik kereta turun di Stasiun Duren Kalibata (sekarang udah tahu stasiun kereta yang lebih dekat 🥲), naik angkot, lalu jalan santai ke gedung tempat pelaksanaan tes. Waktu kami tiba, baru jam 11an. Sepanjang jalan...

Pendidikan Ideal

Aku tahu harusnya aku tidak melakukan ini, tapi aku tidak bisa menahan rasa penasaran yang menyelimuti pikiranku tentang orang itu. Beliau adalah Pak Armawan, satpam di masjid kampusku. Kata Pak Yat –satpam masjid yang satunya, namanya harusnya Darmawan, tapi terhapus huruf D-nya saat mendaftarkan kelahiran. Lagi pula, Darmawan rasanya tidak cocok dengan imej pak Armawan yang galak kalau soal parkir-memarkir di masjid kampus. Ada satu hal yang membuatku penasaran tentang beliau, yang membuatku melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan, apalagi saat hari raya: memperhatikan beliau lebih dari memperhatikan bapak dosen yang saat itu sedang berkhutbah. Pak Armawan punya kebiasaan, yaitu menangis mendengar khutbah shalat iedul adha . Padahal khutbah iedul adha menurutku tidak spesial, materinya dari tahun ke tahun itu-itu saja, diawali kisah Nabi Ibrahim yang mencari tuhan sampai ke kisahnya bersama Nabi Ismail tentang kurban. “Mohon maaf lahir batin, Ker,” aku meng...