Hujan lagi. Aih, padahal sudah
seminggu selalu seperti ini tapi aku tetap tidak membawa payung. Selalu begini
kalau lewat jalan besar ini. Dan selalu di sini, di depan kafe ini aku selalu
berhenti menunggu hujan reda. Kafe yang setiap hari aku lewati semenjak
memutuskan untuk berjalan kaki pulang pergi sekolah. Kafe yang dulunya setiap
minggu aku datangi bersama Val.
“Ada
kafe baru di jalan besar. Ayo, nanti sore kita ke sana. Kata orang-orang es
krimnya enak sekali.”
“Jangan. Ingat terakhir
kali kamu makan es krim lalu besoknya kamu jadi penghuni tetap UKS selama tiga
hari?”
“Ah, tapi itu kan dulu.
Sekarang aku sudah kebal degan es krim. Ayo, lah, jangan buat sahabatmu kecewa.”
Entah mengapa aku mengangguk.
Aku rela kembali lagi ke saat itu, bukan
untuk melarangmu makan es krim. Aku rela berlari ke sini saat hujan, asal itu
denganmu.
“Enak,
kan? Apa ku bilang.”
“Katanya mau makan es
krim, kenapa setelah hari pertama hot white chocolate terus?”
“Karena coklat
menyenangkan.” Katamu diiringi tawa. Aku juga tertawa karena melihatmu tertawa.
“Jangan terlalu banyak
minum white chocolate, Val. Tiap hari wajahmu makin putih.”
“Itu pujian? Ah, memang
setiap hari aku semakin putih. Itu bagus, kan?”
Ah, tiba-tiba aku lapar. Hujannya
semakin deras.
“Apa
kubilang. Jangan minum white chocolate lagi.” Dan kamu hanya tersenyum.
Coklat tetap coklat, kan? Itu yang
Val bilang.
“Tumben,
tidak memarahiku.” Kau tersenyum. Masih di tempat yang sama.
“Aku lelah, Val. Sudah
dua minggu kamu di sini, tidak bosan?”
“Hmm, sebenarnya aku
akan pindah ke rumah sakit yang lebih besar. Di Singapura. Mereka bilang
harapan sembuh lebih besar di sana.”
Hening.
“Perlu aku jadi dokter
juga?” lalu kamu mengacak rambutku.
“Aku akan segera
sembuh. Lalu kita bisa minum white chocolate lagi.”
Hujannya mereda, tapi masih cukup
deras untuk orang-orang yang berlalu-lalang sibuk, mereka basah kuyup. Kaca
kafe di belakangku berembun. Bangku di balik kaca itu, tempatku dan Val duduk
setiap kali ke sini.
“Halo, siapa ini?”
“Kamu di mana? Di sana sedang hujan,
ya?”
Suara itu…
“Val…”
“Tahu tidak? Aku rindu padamu.” Lalu
tiba-tiba mataku menghangat.
“Kapan kamu pulang?”
“Eh, ingat kan kalau coklat tetap
coklat?”
“Ingat. Bagaimana bisa aku lupa?
Kamu tetap coklat, Val.” Dia tertawa.
“Yap. Aku tetap Val. Sekarang atau
dulu.” Suara optimis itu…
“Aku juga rindu padamu. Kapan kamu
pulang?”
“Hmm? Oh, aku rasa aku akan
mempertimbangkan pertanyaanmu waktu itu.” Dahiku mengerut. “Hah? Apa?” Val
malah tertawa.
“Ah, sudahlah. Belajar yang baik,
ya. Kalau aku sudah pulih, kita bisa duduk di lapangan lagi melihat sunset, bisa
bolos bersama lagi, bisa minum white chocolate lagi.”
Air mataku mengalir, gerimis.
“Aku akan menyembuhkanmu.”
*****
Mata gadis itu menerawang menembus
gerimis, telepon genggamnya ia tempelkan erat-erat di telinga. Tubuhnya
bergetar, ia kedinginan, ia rindu.
Gadis itu menghela nafas, matanya
beralih. Ia rindu dengan kafe ini. Ia rindu white chocolatenya dengan Val.
Tubuhnya ikut berbalik mengikuti matanya, melihat dari kaca berembun tempat
duduknya dengan Val dulu. Tidak terlihat tempat duduknya, yang terlihat hanya…
Val.
Lelaki tinggi bermata elang yang
bersahabat itu tersenyum padanya, dengan telepon genggam menempel di
telinganya. Ia menempelkan telapak tangannya di kaca berembun itu, mengusapnya
supaya ia bisa melihat wajah gadis di depannya lebih jelas. Gadis itu ikut
tersenyum, menempelkan telapak tangannya di kaca tempat Val menempelkan telapak
tangannya.
“Tepati janjimu, ya. Sembuhkan aku…”
Lalu ia terjatuh.
Bekasi, 7 Juni 2014
9:40 PM
Komentar
Posting Komentar