Aku
tidak lagi mendengar suara kawanku yang berdiri di sebelahku. Peduli amat,
kawan lain juga sama sepertinya, berteriak “Jawab. Kita gak ngomong sama
patung.” atau mematung berdiri di depan satu pasukan melipat kedua
tangannya, menyelipkannya di antara dua ketiaknya.
Aku
juga ikut menatap satu persatu dari pasukan berbaju coklat susu, dengan celana
coklat tanah, berdasi merah putih di depanku ini. Ya, Pramuka. Seperti ini, lah
biasanya latihan rutin kami. Diawali dengan lari mengelilingi sekolah satu
putaran. Dilanjutkan aktivitas latihan –benar-benar latihan.
Seperti
biasa, mereka –adik-adik kami melakukan beberapa kesalahan yang sebenarnya
sudah setiap minggu diulang-ulang. Kalau sudah begini pasti kami akan bertanya “Kalian
mau bayar kesalahan kalian pakai apa?”, dan seperti biasa mereka menjawab “Siap,
satu seri, kak.”.
Sekarang
mereka turun, bersiap untuk seri. Kali ini kami ingin tiga seri, kesalahan
kemarin belum dibayar, satu seri sepuluh kali push-up, berarti tiga seri
tiga puluh kali push-up. Pemimpin angkatan mereka memastikan semuanya
siap. Mataku menyapu wajah-wajah tangguh di depanku yang sedang menahan berat
tubuh mereka di tangan dengan gemetar.
“Tatapan
mata tetap lurus ke depan!” teriakku,
jarang-jarang aku berteriak seperti ini, tidak salah, kan?
Aku
menatap mereka satu persatu, mereka tetap menunduk ke bawah. Tidak, ada satu,
yang melihat datar lurus ke depan. Kamu. Seperti biasa. Kamu tidak pernah
menunduk ke bawah, tatapanmu selalu lurus ke depan, ke arah lapangan di
belakang tempatku berdiri, menatap tidak peduli dengan keringat mengalir pelan
ke sisi matamu, pasti perih.
“SATU!”
komando dari pemimpin angkatan.
“SATU!!!”
serempak.
Seperti
biasa, kamu melakukannya dengan baik. Walau kamu bukan tipe perempuan atletis,
bahkan bisa dibilang penyakitan. Matamu masih menatap lurus ke depan. Peluh di
kepalamu menetes ke depan jari telunjukmu yang masih bertumpu di tanah bata
berlubang itu.
“SATU!”
yang kedua.
“SATU!!!”
mulai tersengal.
“Yang
gak kuat, berdiri.”
Putra
masih tidak goyah. Tersisa kurang dari sepuluh orang putri –salah satunya kamu.
Dengan wajah masih datar, keringat sudah bercucuran sejak tadi, sesekali
mengangkat tangan tidak jauh dari tanah, mengurangi pegal atau membenarkan
kacu.
“Kalau
gak kuat berdiri, Dek.” aneh, tiba-tiba aku sudah bicara
padanya, berusaha sedatar mungkin.
“Masih
kuat, Kak. Makasih.” dia melirikku sekilas sambil mengangguk
kecil. Aku hanya mengangkat alis, apa lagi?
“Kak,
ada yang baru datang nih, Kak.” salah satu kawanku
melihat dengan tampang (pura-pura) polos ke arah laki-laki tanggung yang
berjalan pelan ke arah kami dengan wajah yang tidak kalah polosnya dari
kawanku.
“Malah
santai-santai jalan ke sini. Gak lihat teman-teman kamu sedang diseri?
Semua tambah dua seri!” keras
di akhir kalimat, kontras dengan awalnya yang sangat tenang, itu ketua angkatan
kami.
Aku
melihatmu sedang medongak ke arah laki-laki tanggung itu, Val. Laki-laki yang
cukup familiar di Pramuka, begitu juga wajah-wajah lain, menatap sebal, sedikit
marah. Dan kamu mengeluarkan ekspresi lega, menunduk sebentar, tersenyum samar.
Oh.
“SATU!”
yang kelima, yang terakhir.
“SATU!”
sepi.
Masih
tersisa penuh putra, termasuk Val. Dan tersisa tiga putri, dua baru saja turun
lagi karena sudah merasa cukup dengan lelahnya, satu lagi, kamu. Kamu
melakukannya lengkap.
“Izin
naik, Kak.”
“Ya,
diizinkan. Pelemasan tiga menit. Balik kanan. Grak.”
Setelah
ucapan terima kasih serempak, langsung riuh. Semua mengelap peluh, dengan
kerudungnya, putra dengan hasduknya, bajunya. Ada yang menarik nafas. Ada yang
berbincang pendek. Seperti kamu. Dan Val.
“Kirain
tadi gak dateng.” katamu sambil membersihkan debu di tangan
dan rokmu, padanya.
“Iya,
tadi lupa banget. Untung kamu nelpon.” Val mengelap peluh di
wajahnya dengan hasduk. Alisku naik mendengar kata ‘kamu’.
“Iya,
untung aku nelpon.” kamu berkata datar, entah memang
sedang tidak ingin berekspresi atau memang ekspresimu di depan Val.
“Maaf,
ya tadi jadi lima seri. Lagian kamu ngapain sobet kuat. Yang lain aja izin
naik, kan boleh.”
“Kuat,
kok, kuat. Sekarang aja masih bisa berdiri ahaha.”
itu, akhirnya kamu tersenyum, senyum yang bisa dilihat siapa saja, senyum yang
bisa kulihat.
“Minta
maaf ke angkatan jangan ke aku...” kamu merapihkan tali
bajumu yang kendur.
“Ya,
ke kamu, dong. Minta maaf ke angkatan nanti beda lagi.” dia
berkata diiringi tawa kecil, kamu tersenyum lagi, karena Val lagi.
“Sepuluh,
sembilan, delapan, tujuh–“
Aku
mulai menghitung mundur, belum genap dua menit.
“Nanti
pulang bareng aku aja, ya.” Val berkata pelan sambil
mengambil posisi siap.
“Mmm.”
“SATU!!!”
aku berteriak, membentak.
“SIAP!!!”
serempak, tegang.
Dahimu
mengerut. Yang aku tahu, sisa latihan hari ini kamu habiskan untuk menatapku.
Komentar
Posting Komentar